22 Juli 2011

bla bla bla



Percakapan suatu siang di R.1.4
Mas A : "Mas sama mbak jadi PNS aja deh. Sayang"
Saya : "Kayaknya kalo saya masuk kesana malah membebani negara deh, kasian negara bayarin PNS yang terlalu banyak, kan dana nya bisa dialihkan untuk pembiayaan pembangunan yang lain."
Mas C : "Wah, kalo kita masuk, harus moratorium dulu."
Mas S : "Kenapa koq jadi banyak yang mau jadi PNS gini ya sekarang? Kalo bidang konstruksi di Indonesia, menurut mbak gimana?"
Saya : "Masalahnya, di Indonesia banyak tenaga kerja yang nggak terserap. Peran pemerintah buat penyediaan lapangan kerja sangat terbatas, hanya bisa masuk di PNS dan BUMN, sedangkan keuangan kita, baik DAU kan paling banyak digunakan untuk membayar PNS. Sedangkan sektor swasta sampai sekarang ini dianaktirikan, gimana nggak, lha wong saat ini aja masalah administrasi, birokrasi, perundang-undangan ketenagakerjaan aja nggak jelas.. gimana mau kondusif untuk investasi?
Di satu sisi, sektor konstruksi memegang peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian di Indonesia karna multiplier effect nya itu, namun sekarang ini malah udah hampir colaps, menurut saya loh ini.. Soalnya tendertender besar udah jarang lagi ditemukan.
Mas S : "Lha iya, kalo pendapatan negara aja banyak yang berasal dari pajak itu.. yang pajak penghasilan cuma berapa persen sih di kita? Yang ngasih banyak kontribusi ya, pihakpihak swasta itu. Lah emang sistem tender sekarang udah semakin parah ya?"
Saya : "Kalo nyari yang bener, juga masih ada mas.. kalo yang nggak bener juga banyak banget. Walopun saya masih anak kemaren sore ya, tapi ya begitu lah kenyataan di lapangan. "
Mas S : "Walah, kacau juga ya masalah infrastruktur negara kita. Masalah utama kita salah satu nya kan di infrastruktur bukan?"
Saya : "Iya sih mas, namun kmaren yang lagi hot kan masalah MP3EI. Kita ambil contoh satu aja, pelabuhan dan tata ruang yang ada disekitarnya. Di Cina, kegiatan industri berada di wilayah laut karena dekat dengan pelabuhan yang memberikan jaringan logistik yang lebih efisien, kegiatan industri mereka beraglomerasi sehingga lebih efektif dan efisien. 
Sedangkan di negara kita aja, yang namanya kegiatan industri itu tersebar dimanamana, menyebabkan transportation cost kita tinggi, selain itu, pelabuhan yang ada di Indonesia itu banyak, namun kecilkecil, tersebar jadi susah untuk monitoringnya, sehingga banyak 'penyelundupan barang' yang seharusnya bisa menjadi pendapatan kita kan? Kenapa nggak kita bikin 2 ato 3 pelabuhan aja namun skala pelayanannya besar, menurut saya sih lebih efektif daripada banyak tapi kecilkecil."
Mas S : "lha kalo kita mau bikin kayak gitu, harus lewat tender ya? tapi saya aga ragu untuk itu. Pernah juga di bagian pengadaan barang kayak gitu, tapi koq 'kacau' ya? maksudnya dengan sistem birokrasi dan administrasi di kita, jadi parah banget. Ga efektif. Atasannya udah jadi apa, nanti bawahannya ngikut deh, bobrok jadinya."
Saya : "tender sih mungkin lah ya.. tapi nanti dilihat mana yang lebih efektif jika pemerintah yang melakukannya sendiri atau pihak lain? kalopun nanti pemerintah yang melakukan, kayaknya harus ada botto up planning, tapi pemerintah pusat harus ada kriteria seleksi terlebih dahulu, biar pemerintah pusat tidak pusing ketika memilih. Nah, kalo yang masalah itu kayaknya kembali pada mental mas."

Mas S : "Tapi Joko Wi (Solo), itu hebat ya?"
Saya : "iya, beliau keren.. saya salut sama beliau, berani menentang Gubernur. "
Mas S : "iya, coba kalo kayak gitu kita bikin jadi penelitian. Jadi ada kah hubungan dengan cara dan sistem pemerintahan (terutama kepala) dalam pembangunan."
Saya : "menarik sih mas, cuma data nya itu looh.. pasti mereka ga bakal mau ngasih."
Mas S : "iya juga sih."

*kemudian yang terjadi adalah keheningan yang lama*

4 Juli 2011

Working Girl

Saya mau sesekali share tentang film disini, judul film nya adalah “Working Girl”
Bukan film barat, tapi ini film asli Indonesia.
Film ini seperti film dokumenter yang menceritakan kehidupan masyarakat golongan ekonomi berpenghasilan rendah untuk mendapatkan uang dan segala resiko yang dihadapinya. Film ini terdapat 3 cerita yang digabungkan menjadi satu.

Pertama tentang penyanyi dangdut jebolan kontest ajang pencarian bakat di tv.
Namanya Riana, dia adalah gadis kecil yang memenangkan kontes ajang pencarian bakat alias penyanyi dangdut di tv. Ternyata perjuangan tersebut mulai ketika dia baru memenangkan kontes tersebut.
Karena orangtuanya sudah tua, dia menjadi tulang punggung keluarganya. Menyanyi dari panggung satu ke panggung lainnya setelah pulang sekolah. Uang dan hadiah yang didapatkan dari menang kontes tersebut digunakan untuk memperbaiki rumahnya. Dengan embelembel pemenang penyanyi kontes se Indonesia, nama Riana mulai terkenal, bukan menjadi penyanyi dangdut di tv, alihalih menjadi serang diva dangdut, dia banyak mendapat tawaran untuk pentas dari panggung satu ke panggung lainnya untuk acara resepsi pernikahan, ulangtahun dan lainnya. Mungkin karna masih kecil ya, jadi pola demikian lebih sesuai untuk Riana sementara pagi sampai siang hari dia harus sekolah.
Kemudian datanglah pemain karakter baru yang bernama abah Tito, sepertinya neh, menurut saya, dia naksir ama Riana, soalnya tanpa ada hubungan sodara, dia mau membiayai sekolah Riana dan membiayai semua kebutuhannya. Jaman sekarang ya, ga ada yang namanya free lunch, honey..!!
Oke, yang saya lihat cerita disini adalah, selain kehidupan pemenang konteskontes ajang pencarian bakat itu kalo nggak dikelola dengan baik, kasian dengan para kontestannya. Mereka harus berjuang sendirian. Hanya muncul beberapa saat kemudian tenggelam lagi.
Disatu sisi, saya melihat perjuangan seorang anak untuk menghidupi keluarganya, mejadi tulang punggung perekonomian. Dan melihat pendidikannya, saya koq aga kwatir dengan masa depan dia kalo andaikata dia sudah tidak laku lagi menjadi penyanyi.

Pindah ke cerita satu lagi. Kali ini bercerita tentang kehidupan pemain kethoprak.
Indonesia memiliki banyak sekali ragam budaya, salah satunya adalah ketoprak. Ini semacam pertunjukan drama yang menceritakan suatu kisah, ada kisah percintaan, humor, laga, intrik dalam satu kemasan. Mereka biasanya menggunakan bahasa daerah (Jawa) untuk melakukan pertunjukkan tersebut.
Kesenian asli daerah kita sekarang ini sangat mengkhawatirkan kondisinya. Kalah dengan terjangan badai globalisasi, film luar negri dan sinetron.
dengan hanya membayar 5 ribu untuk tiket sekali masuk per pengunjung dan production cost yang begitu besar, ditambah ancaman globalisasi tersebut, saya sangat terkejut masih ada group ketoprak yang masih bertahan. Pemain yang ada di group ketoprak ratarata sudah berusia lanjut, hanya anakanak mereka yang melanjutkan pekerjaan ini, tidak ada tambahan dari pemain luar karna sedikitnya pandapatan yang diterima. Mereka, para pemain ketoprak tetap menekuni ini karna kecintaannya pada kesenian, tujuan mulia untuk melestarikan budaya agar tidak punah.
Ketika melihat kehidupan seharihari merka yang tinggal menjadi satu dengan lokasi panggung ketoprak. Kondisi yang seadanya, tanpa ada sarana prasarana dan utilitas yang memadai, *mandi aja pake ember di ruang komunal, jalanan becek, penerangan seadanya, kamar terbuat dari kardus dan papan bambu*. Walopun kehidupan mereka aga memprihatikan,nomaden, tapi tetep ya, itu yang namanya rokok masih menjadi konsumsi utama, bahkan ada ibu muda yang merokok disebelah balitanya. Argh, mengerikaan..!!
Sebenarnya ada cara untuk menambah penghasilan mereka. Karna ketoprak hanya memulai pertunjukkannya pada malam hari, siang hari mereka dapat melakukan pekerjaan sambila. Banyak ibuibu yang memuliki ketrampilan menjahit atau membuat pernakpernik, aksesoris, mengapa mereka tidak mengembangkan hal tersebut untuk menambah penghasilan?
Memang yang namanya memberantas kemiskinan, tidak bisa menyamakan program, harus ada pengembangan program berbasis komunitas, kemiskinan yang dihadapi tiap kelompok masyarakat itu berbedabeda karakteristiknya, begitu pula dengan penanganannya.
Untuk masalah budaya, mempertahankan kesenian, mungkij kita harus belajar dari Bali yang mencoba mempertahankan budaya nya dengan semboyan dan program 'Ajeg Bali'. Sehingga negara kita yang kaya akan budaya tidak akan kehilangan jati dirinya.

Dan terakhir, cerita yang ketiga, yaitu tentang seorang transgender yang berasal dari Aceh yang bernama Ulfie.
Transgender ini mengidap penyakit yang namanya HIV karna dia tidak mengetahui bahaya nya melakukan 'hubungan' secara bebas tanpa menggunakan 'pelindung' sama sekali. Dia juga tidak mendapat informasi tentang bagaimana penularan dan penyebaran virus HIV tersebut.
Dia mengakui kepada semua orang kalo dia mengidap penyakit tersebut, kecuali kepada ibunya.
Setelah insyaf menjadi transgender dijalanan, dia mencoba untuk menjadi figuran di sinetron, upah yang dia dapat disimpannya kemudian dia mendirikan salon.
Usahanya tidak sampai disitu, dia mencoba untuk mengajak 'saudarasaudaranya' yang lain untuk ikut menyadari pentingnya pemeriksaan kesehatan untuk mengetahui ada atau tidaknya virus tersebut didalam tubuhnya sehingga penularan virus tersebut dapat diminimalisir. Mengetahui temannya tumbang satu per satu, dia sangat kwatir dan mulai mencari informasi tentang ada atau tidaknya informasi dan sosialisasi kepada mereka, pelayanan kesehatan dan lainnya. Namun, ketika berhadapan dengan instansi, biasa, adanya birokrasi yang berbelit, pingpong sanasini, sampai nama fiktif pun diajukan agar sepertinya instansi tersebut tidak diganggu.
Sampai akhirnya dia bertemu salah satu konsultannya, Baby Jim Aditya. Disini bu Baby mengeluhkan betapa kadang tidak adil ketika (maaf) para PSK yang dipaksa untuk menggunakan alat pengaman tersebut dan konsumennya tidak? seharusnya keduanya menggunakan. keterbatasan informasi, latar belakang kemiskinan yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan dan pemerintah pun memicingkan mata untuk memperhatikan mereka melalui kebijakankebijakannya.

Inilah potret seharihari masyarakat  di Indonesia, mulai anak yang menjadi tulang punggung keluarga untuk kegiatan ekonomi., budaya asli yang mulai ditinggalkan dan menghilang karna arus globalisasi, sampai penyebaran virus HIV karna kurangnya sosialisi dan kebijakan yang tidak menyentuh masyarakat minoritas.
Nice film walaupun bentuknya dokumenter yang aga membosankan bagi saya, namun memberikan gambaran yang realistis kehidupan sehari-hari masyarakat di Indonesia, terutama golongan masyarakat golongan miskin.

3 Juli 2011

Rumah Ku Istana Ku


Akhirnya saya menulis apa yang hampir tiap hari saya pikirkan.
Yups, tentang perumahan. Rumah yang terjangkau oleh semua kalangan.
Dari yang sudahsudah, kita tau bahwa disparitas antara demand dan supply menyebabkan tingginya harga lahan dan berdampak pada tingginya harga perumahan dan ini terjadi di perkotaan, heum... daerah suburbanisasi juga mendapatkan dampak tersebut.
Tingginya harga lahan dan rumah sayangnya tidak diimbangi dengan kemampuan masyarakat berpenghasilan menengah kebawah untuk mendapatkannya *kalo seluruh masyarakat mampu, maka semua masyarakat dapat punya rumah yang layak* akhirnya mereka mendirikan rumah di daerah marginal dengan kualitas yang tidak memenuhi standart yang ada, sehingga menyebabkan kekumuhan kota. Selain itu, masyarakat perkotaan banyak yang 'tergusur' ke suburban, sehingga menyebabkan aglomerasi perkotaan yang sprawl ataupun leap frog development.
Dengan berpindahnya masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah tersebut, menjadikan tingginya mobilitas dari daerah suburban ke daerah urban dimana disitulah lokasi mereka bekerja. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya biaya transportasi, waktu tempuh, dan pada akhirnya akan menurunkan mobilitas dan produktivitas masyarakat. Sedangkan sebagian masyarakat tinggal di kawasan yang tidak jauh dari pusat aktivitas ekonomi,sehingga menyebabkan ketidakteraturan tata ruang kota. 
Untuk mendekatkan kembali masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah ke pusat aktivitas kesehariannya dan mencegah tumbuhnya kawasan kumuh di perkotaan, maka dibangunlah suatu pembangunan hunian secara vertical, berupa Rumah Susun (rusun). Dengan pembangunan rusun dipusatpusat kota, dengan intensitas bangunan tinggi diharapkan dapat mendorong pemanfaatan lahan yang lebih efisian dan efektif. Pembangunan rusun ini diharapkan dapat mempercepat pemenuhan kebutuhan rumah yang layak danterjangkau bagi masyarakat, peningkatan efisiensi penggunaan tanah sesuai peruntukan dan tata ruang, serta dapat meningkatkan daya tampung, mobilitas, produktivitas dan daya saing kota.


Keberadaan rumah susun membuat para penduduk golongan menengah ke bawah bisa bernapas lega karena tersedianya hunian yang murah yangpada dasarnya memang diperuntukkan bagi mereka. Rumah susun memiliki banyak manfaat dan keuntungan untuk dijadikan pilihan sebagai tempat tinggal dan pemerintah membantu masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah tersebut dengan memberikan subsidi. Namun sayangnya, banyak masyarakat oportunis yang memanfaatkan' posisi' rumah susun yang strategis dan lebih terjangkau untuk kepentingan ekonomi.
Untuk sementara ini, banyak masyarakat ekonomi kuat membeli atau menyewakan rumah susun tersebut kemudian menyewakan kembali ke masyarakat berpenghasilan rendah atau menengah.

Mengapa ini bisa terjadi?
Kalo bertanya kenapa, sebenarnya banyak hal yang dapat dilihat.
Mulai dari sistem penyaluran dan penyerapan anggaran, proses perijinan, penyiapan lahan, pembangunan dan konstruksi bangunan, serta sampai pada proses verifikasi penghuni.Semuanya tidak mudah.
Selain itu, karna kelemahan dalam proses perencanaan dan pembangunan di Indonesia adalah koordinasi, monitoring dan evaluasi, makanya terjadi penyimpanganpenyimpangan dalam tujuan program, target dan sasaran.

Akibatnya adalah
Walopun masyarakat menengah ke bawah mendapatkan hunian yang lebih layak daripada rumah tinggalnya yang terdahulu, namun tetap saja mereka (secara keseluruhan) belum mendapatkan keuntungan dari subsidi pemerintah. 
Selain itu, adanya biaya tambahan dalam pembelian atau penyewaan rumah susun tersebut (karena penyewa mendapatkan bukan langsung dari pemerintah), menyebabkan pengurangan kemampuan masyarakat tersebut untuk saving maupun untuk kebutuhan yang lainnya.
Karena seharusnya masyarakat hanya  mengeluarkan biaya untuk rumah atau hunian tidak melebihi dari 30% dari total pengeluaran mereka perbulan, namun, sayangnya kemungkinan biaya yang mereka keluarkan untuk perumahan atau hunian yang layak melebihi 30% dari total pengeluaran mereka belum lagi ditambah biaya untuk mendapatkan sarana prasarana infrastruktur dasar untuk mendukung kehidupan mereka. Sehingga masyarakat ekonomi menengah ke bawah pindah dari lokasi yang telah ditentukan dan 'membuka' kembali lahan baru dan mendirikan hunian seperti dahulu, tanpa akses sarana, prasarana dan infrastruktur yang memadai, sehingga kemiskinan perkotaan belum dapat teratasi dengan baik.

Mungkin Indonesia masih harus banyak belajar untuk mendapatkan sistem penyediaan rumah yang layak dan terjangkau bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah serta dapat mengurangi kemiskinan dan kekumuhan kota seperti di negaranegara lain. 
Dimulai dari perencanaan yang kontinyu, kebijakan yang tidak saling tumpang tindih dan implementasi yang sesuai dengan apa yang direncanakan serta proses monitoring dan evaluasi untuk mendapatkan model serta hasil yang terbaik.