24 Mei 2011

syuuhh..syuuhh..


“yang dapat menjatuhkan seekor monyet diatas pohon kelapa yang tertinggi, bukanlah angin bohorok, angin putingbeliung maupun angin topan, namun 'hanya' lah angin sepoisepoi...”
-my dad philosophy's-

10 Mei 2011

Super Boy


Kmaren saya ngobrol dengan seorang teman, dan pada akhirnya tema obrolan kami nyasar ke masalah anak dan tumbuhkembangnya. *sok tau banget*
Saya bilang ke teman saya, kalo nantinya saya tidak mau anak saya tumbuh dan berkembang di tengah hiruk pikuk kota besar seperti Jakarta, yang kurang ramah terhadap anak. Bayangkan saja, di sekitar tempat saya tinggal sekarang ini, hampir tidak ada taman, tidak ada tempat bermain untuk anak, ditambah parahnya sistem lalu lintas,polusi udara dan suara, bagaimana anak saya nanti dapat tumbuh dengan baik kalo lingkungannya saja tidak mendukung?
Yang kedua adalah masalah sosial. Sebaikbaiknya keluarga mendidik dirumah, pengaruh luar jauh lebih kuat dari apa yang diberikan di dalam rumah contohnya seperti tindak kriminalitas, tawuran, narkoba, pergaulan bebas dan ancaman bullying di sekolah. Ini sangat memprihatinkan, bagaimana tentang kesehatan mental anakanak nantinya?




Sekarang ini banyak sekali kasus dimana anakanak mengalami depresi karena berbagai tekanan yang ada, banyak orangtua memaksa anaknya untuk menjadi anak super, anak harus pinter dengan les ini itu, belajar di sekolah favorit yang biaya nya selangit, pergi pagi pulang sore terkadang malam, harus bisa bahasa ini itu, belum harus ditambah dengan masalah sosial dan lingkungan. Saya pikir, hey, ini anak loh.. mereka baru belajar menghadapi hidup dan para orang tua itu memberikan beban terlalu berat daripada yang dapat mereka tanggung. Kalo anaknya sendiri seneng belajar sih, ga masalah. Nah, kalo anaknya ini ada kesulitan untuk ini dan para orang tua itu memaksa gimana? Kasian anaknya kan?

Saya ingat ketika saya masih kecil, saya tidak malu dikatakan sebagai anak desa yang tidak mengenal game mario bros, spica ato apapun lah namanya. Saya selalu bangga bercerita kalo saya bisa manjat pohon, mengambil buahnya dan makan diatas pohon tersebut, larilarian di alam bebas sambil mengejar layangan ato mencari serangga dan memancing ikan, walopun saya tidak bisa berenang. Saya punya banyak teman yang sekarang ini banyak membantu saya untuk mudah beradaptasi dimana saja dengan siapa saja.
Saya merasa jauh lebih beruntung dari anakanak kota itu, mereka hanya bisa bermain game tanpa adanya interaksi dengan banyak orang, polusi dan tingkat kriminalitas yang tinggi selalu menghantui, mereka jarang bergerak sehingga banyak penyakit yang menghantui mereka dari kecil.

Saya pikir, bahwa anak itu harus dekat dengan alam, alam adalah guru terbaik untuk anak, mereka dapat belajar memahami keseimbangan dalam lingkungan, membentuk fisik dan mental mereka, mengajari apa itu kesederhanaan, bagaimana berinteraksi sosial. Bukannya itu adalah hal yang paling mendasar untuk diajarkan kepada anak? *ini cuma opini saya saja lho*

Disatu sisi, kotakota besar kita merupakan kota yang tidak layak anak. Tidak adanya taman untuk bermain anak, kualitas lingkungan yang buruk, kemacetan, tingginya kriminalitas dan kehidupan sosial yang kurang mendukung.
Kekerasan urban menjadi salah satu fokus disamping guna lahan yang carutmarut dan mengakibatkan kurangnya ruang terbuka hijau untuk memperbaiki keseimbangan alam.
Kekerasan urban disamping disebabkan karena masalah ekonomi (tingginya angka kemiskinan kota dapat menyebabkan tingginya tingkat kriminalitas) apalagi jika ditunjang dengan tata kota dan kualitas serta kuantitas sarana prasarana utilitas kota yang kurang mendukung. 
Desain kota yang baik dapat menjadi salah satu faktor yang memudahkan monitoring dalam kehidupan perkotaan, ditambah dengan sarana prasarana penunjang yang memadai seperti penerangan perkotaan, pengaturan kehidupan dan kegiatan dalam perkotaan juga mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kriminalitas perkotaan.
Kawasan bronx di Amerika, dulu terjadi karena wilayah yang pada siang hari menjadi pusat kegiatan perekonomian (CBD/central bussines district) ketika malam ditinggalkan oleh penghuninya, daerah yang sepi ditambah kurangnya sarana penerangan, akhirnya menjadi lokasi untuk melakukan tindak kejahatan.

Bayangkan saja ketika anakanak itu pulang pada malam hari (karena mereka harus les ini itu, orangtua sibuk, jadi mereka pulang sendiri) mereka melewati wilayah yang sepi dan gelap, sering sekali mereka jadi korban penculikan untuk dipekerjakan kembali ato dijual organ tubuhnya. Jangankan itu terjadi dijalan, dirumahpun, jika pengawasan yang kurang ditambah ketidakpedulian tetangga, banyak anakanak yang berhasil diculik.
Apakah masih aman, jika anakanak tumbuh dan berkembang di kota seperti ini? 

3 Mei 2011

Mumpung Ada Kesempatan


Sepertinya benar apa yang dikatakan oleh teman saya si monsterbuaya itu, kalo di kota ini, yang ga penting dan ga perlu ada adalah ramburambu lalulintas. Kenapa? Karena mereka tidak pernah di perhatikan.

Dan ketika ketika saya bertanya kenapa, ini beberapa jawaban yang ada :
"kalau bisa jalan sekarang di saat lampu sedang merah, kenapa musti nunggu nanti, kalau lampu sudah hijau?"
"kalau bisa belok dibawah tanda dilarang belok, kenapa harus muter jauh kesana sana?"
"kalau bisa lewat jalan melawan arus, kenapa harus antri macetmacetan di jalur yang benar?"
"kalau bisa berhenti di tengahtengah perempatan, kenapa harus tertib di belakang garis marka?"
"kalau supir angkot bisa nurunin penumpang di as jalan, ngapain repotrepot menepi ke tepi susahsusah minggir ke pinggir?"
"kalau cuek aja nggak bisa mati, kenapa harus taat?"

Nampaknya masyarakat lebih takut kalau ada polisi dibandingkan dengan ramburambu lalulintas, padahal itu dibuat untuk keselamatan masyarakat sendiri kan?
Dan polisi hanya bertugas untuk mengawasi, nah, sekarang saya tidak dapat membedakan mana yang jadi sarana dan mana yang jadi prasarana untuk mengatur lalulintas. *nah lo*

Masyarakat kita maunya serba instant, cepet, time is money katanya
tanpa memikirkan keselamatan dirinya sendiri dan kemanan kenyamanan pengendara lainnya
alasan yang lain karena kemacetan itu sendiri,
masyarakat tidak sabar untuk mengadapai kemacetan kota yang semakin hari semakin parah.

Sekarang saya mau melihat dari sisi kendaraan umum seperti angkot diatas.
Angkot dapat menaikkan dan menurunkan penumpang dengan seenaknya, berhenti seenaknya, kadang bisa jadi penyebab kecelakaan lalulintas karena angkot berhenti mendadak, kalo terjadi kecelakaan, maka akan menghambat kendaraan lain untuk jalan kan? terjadilah kepadatan bahkan kemacetan lalulintas.
Apakah sopir angkot itu mau melakukan itu dengan sendirinya? penumpang yang meminta, jika penumpangminta turun di halte, sopir angkot itu juga akan menurunkannya di halte, begitu juga kalo penumpang menunggu angkot di halte, tidak akan ada ceritanya angkot berhenti mendadak hanya untuk menurunkan penumpang dan itu dpat mengurangi resiko kecelakaan.
Kemacetan akan membawa eksternalitas negatif untuk kawasan perkotaan, polusi yang ditimbulkan lebih banyak, waktu yang terbuang di jalan juga dan itu hanya untuk masalah sepele?

Angkot banyak dikatakan perusak sistem lalulintas perkotaan, 
disatu sisi juga dibilang tidak efektif, karena tidak memenuhi skala ekonomi.
Namun masyarakat sangat bergantung pada angkot karena angkot dapat menjangkau lokasi yang kecil (dan lebar jalan di perkotaan kita masyoritas juga kecilkecil, hanya beberapa ruas jalan yang sesuai dengan standart), bisa berhenti disembarang tempat karena masyarakat banyak yang malas jalan kaki, alasan? heum.. panas, pedestrian line yang kurang nyaman, jarak antara pusat kegiatan satu dengan yang lainnya jauh.
Dan intinya, kita kembali lagi pada penataan pusatpusat kegiatan dan pedestrian.

Saya jadi berpikir dan aga mulai pesimis,
apakah nanti kalo kita sudah mencapai pembangunan kota yang ideal, dengan sistem transportasi yang baik (baik kualitas sarana dan prasaranya), pedestrian yang mendukung, guna lahan yang sesuai (contoh seperti model grid yang diklaim dapat mengurangi jumlah kegiatan berkendara), apakah masyarakat akan dengan sendirinya akan mengikuti? melihat sifat masyarakat kita yang sepertinya hanya takut dengan penguasa yang diktator.
Tambahan pekerjaan untuk para pembuat peraturan dan perundangundangan agar dapat memberikan shock terapi pada masyarakat agar mengikuti peraturan yang ada. 

2 Mei 2011

Ough..Please Don't.


Saya kemaren sedang ingin membeli sesuatu di sebuah minimarket dan untuk menuju kesana harus melewati jembatan penyebrangan yang sekaligus memiliki fungsi sebagai shelter busway.
Nah waktu melewati jembatan itu, saya melihat suatu kejadian, seorang neneknenek dipaksa oleh satpol PP untuk ikut masuk ke dalam mobil petugas, mungkin mau dipindahkan ke panti jompo atau dipulangkan kembali ke daerah atau keluarganya.

Saya pikir banyak sekali masyarakat miskin di Jakarta yang tidur di jembatan, menjadi pengemis, pemulung dan pengamen, namun saya tidak bisa membedakan mana yang benarbenar melakukan hal tersebut (karna tidak ada akses untuk mendapatkan pekerjaan dan hunian yang layak dan menjadi kemiskinan akut) dan mana yang di organisir oleh badan oportunis.

Jadi miris memang jika melihat kenyataan sosial tersebut. 
Kadang ada juga orang yang sengaja menjadikan pengemis untuk pekerjaannya, namun sepertinya dia masih dapat untuk mendapatkan pekerjaan lain yang layak.
Saya tidak mengerti, ini bagian dari moral hazard masyarakat kita ataukah memang pemerintah tidak dapat memberikan solusi untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran?

Dulu, waktu jaman saya masih jadi mahasiswa yang sering dikerjai dosen untuk menghitung jumlah kendaraan di jalan dalam kurun waktu tertentu ( kondisi di perempatan jalan yang dimana disitu banyak pengamen dan pengemis), saya menemukan fakta yang menarik, dimana saya dulu ngendon tanpa mendapatkan uang sepeserpun (tapi dapat pengalaman), dalam waktu 2 jam saja, pengamen itu mendapatkan uang skitar hampir 200 ribu, jika mereka melakukan hal tersebut dalam waktu 8 jam sehari (hitungan orang kerja normal di kantor), sehari bisa 800 ribu?! saya melihat dan mendengar sendiri mereka menghitung uang recehan yang dikumpulkan *ini mereka yang salah hitung apa saya yang salah dengar?* pantas saja waktu stasiun tv diungkap kalo ada desa pengemis yang rumahnya bagusbagus, saya jadi semakin kuat memegang fakta tersebut dan menjawab pertanyaan saya sendiri mengapa mereka mau melakukan hal itu, walaupun banyak pekerjaan yang bisa dilakukan.

Kmaren dulu, ada kejadian biasa juga, oportunis masyarakat miskin.
Sewaktu saya berjalan pulang, ada seorang pria yang sering saya lihat membawabawa "rumah"nya yang berupa gerobak dan ditinggali bersama istrinya yang berkepala botak. *beneran botak karna katanya ga punya uang buat beli shampo* serta sering tidur di pinggiran jalan, pria tersebut tergeletak di tengah jalan karna mungkin terserempet oleh kendaraan bermotor. *saya melihat sudah dikerumuni orang dan dia sudah terbaring di jalan*
Si pengendara tersebut turun dan melihat keadaan si pria tersebut, dan ketika ditanya gimana keadaannya, dia bilang sakit dan tidak bisa berdiri, ketika mau dibawa ke rumah sakit, pria tersebut menolak, dia meminta sejumlah uang, rokok dan minuman keras. wadduuhhhh..!!

Bingung dan semakin bingung, mengapa hal ini bisa terjadi? 
Mau dibawa kemana nantinya masa depan negara *halah, sok banget*
Masalah agama atau kurangnya akses pendidikan mereka bisa menjadi seperti itu?
Dan benar, pembangunan tidak dapat dijalankan oleh satu atau dua aktor saja, namun seluruh masyarakat dan pihak harus melakukan hal tersebut, harus ada koordinasi yang jelas antara satu pihak dengan pihak yang lain, sehingga menjadikan pembangunan itu menjadi selaras, serasi dan seimbang, idealnya.. tapi untuk mendapatkan sesuatu yang ideal itu tidak gampang kan?