22 Oktober 2011

just share






Nothing to say, just want to share this picture.
Brunch (breakfast and lunch) with some cereal, biscuit and coffe on my bed with some fashion magazine, looking out of my window and see the weather so perfect this day then i decided to walking down beneath sunlight, hope this day will better and give me more energy for tommorow.
Smile and enjoy your life everybody!

21 Oktober 2011

Stop it !

Yet so many people ignore that violence against women and girls is a CRIME
http://gchange.wordpress.com/tag/womens-rights/


Change is needed to stop the constant abuses of women’s rights. A change of legislation, a change of social norms, but most importantly, personal change. It is until people grasp that their actions are wrong, that women and girls have become victims of violence, and that there will be no end to this call for equality, that the violence will stop.
So take a look at yourself, at your family, at your community, at your mothers, sisters, wives, and daughters. Because we are, and we won’t keep them out of our sight, until the violence stops!

20 Oktober 2011

you lead me the way

Teman saya di benua seberang sana bercerita, sebentar lagi sudah masuk musim dingin, walopun belum namun suhu udara sudah menyentuh 2°C. Jadi, kita lihat apa yang terjadi di luar sana. Siapkan sepatu dan kita jalanjalan.
Keluar dari rumah yang aman, nyaman dan hangat pada musim dingin adalah sesuatu yang dibenci, dingin!

Namun diluar sana, masih banyak orang yang tidak memiliki rumah dan kedinginan. Parahnya beberapa tahun yang lalu, musim dingin di benua Eropa sampai memakan korban, Frankfurt membatalkan lebih dari 200 penerbangan. Polisi Perancis menutup jalan tol A5 dari dan ke Jerman menyebabkan mimpi buruk di lalu lintas sekitarnya. Para pejabat Jerman menghimbau penduduk untuk mempersiapkan pasokan makan dan minum di rumah mereka. Diramalkan akan datang badai salju yang cukup parah. Di Perancis, lalu lintas penerbangan terus menerus dilanda hujan salju. Bandara Charles de Gaulle di Paris memperkirakan akan membatalkan seperempat penerbangannya. Bandar Udara Toulouse ditutup sepanjang pagi. Di bagian selatan Perancis lima belas ribu rumah tidak mendapat aliran listrik. Inggris mengalami musim dingin paling parah di lebih dari sepanjang tiga dasawarsa. Pekan ini salju diperkirakan akan turun lagi. Kondisi yang tidak kondusif menyebabkan pembatalan sebagian besar pertandingan sepak bola Liga Utama. Kementerian Dalam Negeri Polandia menyatakan, enam lagi korban tewas ditemukan di negeri itu. Ini berarti total korban tewas akibat hipotermia telah mencapai 82 orang sejak November 2008 lalu. Sebanyak 23 orang di antaranya tewas dalam beberapa hari terakhir. Lima orang, termasuk tiga tunawisma, juga meninggal di wilayah Kherson, Ukraina. Suhu udara di wilayah tersebut hanya minus 19 derajat Celcius.


Banyaknya korban yang meninggal akibat hipotermia adalah masyarakat tunawisma yang tidak memiliki hunian. Mau tidak mau kita melihat pentingnya peranan hunian dan segala prasarana, sarana serta utilitasnya bagi kehidupan manusia, betul untuk PERLINDUNGAN. Namun semakin barang itu menjadi penting, permasalahan yang dihadapi semakin sulit karena kelangkaan dan berbagai keterbatasan lainnya. Contoh yang paling panas sekarang ini adalah Krisis Perumahan di Amerika.

Pada 2001-2005, pertumbuhan perumahan di Amerika Serikat menggelembung seiring rendahnya suku bunga perbankan akibat kolapsnya indutri dotcom. Sejak 1995, industri dotcom (saham-saham teknologi) di AS lebih dulu booming, namun colaps dan menyebabkan banyak perusahaan jenis ini tak mampu membayar pinjaman ke bank.
Untuk menyelamatkan mereka, The Fed menurunkan suku bunga, sehingga suku bunga menjadi rendah. Suku bunga yang rendah dimanfaatkan pengembang dan perusahaan pembiayaan perumahan untuk membangun perumahan murah dan menjualnya melalui skema subprime mortgage. Gelembung perumahan ini terjadi di banyak negara bagian, seperti California, Florida, New York, dan banyak negara bagian di barat daya.

Saat bisnis perumahan mulai booming pada tahun 2001 ini, banyak warga AS berkantong tipis yang membeli rumah murah melalui skema subprime mortgage (KPR murah). Pada tahun 2006, ketika koreksi pasar mulai menyentuh gelembung bisnis perumahan di AS, ekonom Universitas Yale, Robert Shiller memperingatkan bahwa harga rumah akan naik melebihi aslinya.
Koreksi pasar ini, menurutnya, bisa berlangsung tahunan dan menyebabkan penurunan nilai rumah-rumah tersebut hingga muliaran dolar AS. Peringatan itu mulai terbukti ketika pada akhir 2006, sebanyak 2,5 juta warga AS yang membeli rumah melalui skema tadi tak mampu membayar cicilan. Harga rumah yang mereka kredit melambung tinggi, bahkan ada yang sampai 100% dari nilai awalnya. Akibatnya, menurut laporan perusahaan penyedia data penyitaan rumah di AS, RealtyTrac, sebanyak itu pula, rumah yang akan disita dari penduduk AS.
Penyitaan besar-besaran ini jelas dapat menimbulkan banyak warga AS menjadi tuna wisma mendadak, dan bisa menjadi masalah sosial baru.

Tidak semua warga negara AS memiliki uang yang cukup untuk membeli rumah atau memiliki sejarah kredit yang baik. Kebanyakan dari mereka adalah pengangguran, pekerja-pekerja seperti office boy, pedagang kecil, dan pembersih rumah atau kantor (mirip pemberian kartu kredit yang jor-joran di Indonesia, seorang office boy punya 2 sd 5 kartu kredit).
Sebenarnya, mereka dianggap tidak layak mendapatkan pinjaman untuk memiliki rumah murah, karena sejarah kreditnya kurang baik dan tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk mencicil. Untuk itulah diadakan subprime mortgage. 

Pembiayaan jenis ini sebenarnya berisiko, baik bagi kreditor maupun debitor, karena bunganya yang tinggi, sejarah kredit peminjam yang buruk, dan kemampuan keuangan peminjam yang rendah. Kamus online Wikipedia menjelaskan, Subprime Lenders (Pemberi pinjaman), biasanya adalah lembaga pembiayaan perumahan, mengumpulkan berbagai utang itu (pool) dan menjualnya kepada bank komersial. Oleh bank komersial, sebagian portofolio tersebut dijual lagi kepada bank investasi. Oleh bank investasi, kumpulan utang tersebut dijual kepada investor di seluruh dunia seperti bank komersial, perusahaan asuransi, maupun investor perorangan.
Kumpulan utang tersebut dinamakan Mortgage-Backed Securities (MBS) yang merupakan bentuk utang yang dijamin. MBS ini termasuk salah satu bentuk transaksi derivatif yang penuh risiko. Ketika pembeli rumah membayar bunga, baik pada cicilan bulanan atau pada saat pelunasan, pembeli MBS mendapat pendapatan. Layaknya transaksi derivatif lain, MBS bisa dibeli dari tangan pertama atau berikutnya. Artinya, investor yang sudah membeli MBS bisa menjualnya lagi ke investor lain. Perolehan pendapatan dibagi menurut jenjang atau senioritas pembeli MBS ini. Dan ini menjadi beban seluruhnya bagi pembeli rumah. Ini membuat nilai yang harus dibayar pembeli rumah melambung tinggi hingga 100% dari nilai aslinya.
Meskipun tergolong kredit berisiko tinggi, bank investasi dan hedge fund (HF) tetap memainkan instrumen ini, karena para investor dari golongan pemain baru banyak yang tertarik membeli MBS. Ditambah lagi ada dukungan pemeringkatan yang dibuat lembaga seperti Standard & Poor’s (S&P).

Akibatnya, menjelang 2007, pembeli rumah dengan skema ini tak sanggup mencicil kredit rumah murah tersebut lantaran semakin sulitnya perekonomian AS. Ketika ini terjadi, satu-satunya jaminan bagi MBS adalah rumah-rumah itu sendiri. Namun, karena penawaran perumahan ternyata melebihi permintaan seiring gelembung industri perumahan dalam 2001-2005, nilai rumah-rumah itupun turun, tidak sesuai lagi dengan nilai yang dijaminkan dalam MBS. Sementara bank investasi dan HF harus tetap memberi pendapatan berupa bunga kepada para investornya. Inilah asal mula terjadinya krisis subprime mortgage yang berimbas ke seluruh dunia
Jadi sepertinya masalah perumahan yang layak untuk masyarakat berpenghasilan rendah tidak hanya dihadapi oleh negaranegara Asia saja, buktinya AS juga terkena masalah itu kan?

18 Oktober 2011

pick a pict

In a silent way, i wanna see you fly, get your own destiny



5 Oktober 2011

Gerobak gerobak itu

K etika saya pulang malam dan melihat banyaknya keluarga yang tinggal di gerobak membuat saya berfikir berfikir apakah sedemikian kejam kehidupan di perkotaan sampai hunian yang sedikit layak pun tidak dapat mereka akses?
Maksud saya, saya tidak berharap mereka yang bekerja di sektor informal itu (mayoritas sebagai pemulung) mendapatkan rumah yang bertipe 36 dengan lingkungan yang nyaman ada taman yang luas dan prasarana, sarana dan utilitas yang sangat lengkap serta terletak di tengah kota, namun setidaknya, hunian mereka memiliki atap sehingga mereka bisa berteduh dari hujan dan panas, dengan luas gerobak yang sedemikian kecil, mereka membawa anakanak mereka dan berbagai barang keperluannya ditambah dengan hasil memulung mereka.
Jelas, satu gerobak itu tidak cukup untuk menampung satu keluarga dan ditambah mereka memiliki kecenderungan untuk memiliki anak diatas 2 orang, jadi bisa dibayangkan bagaimana sulitnya sirkulasi dalam keluarga gerobak itu. 



tapi FAKTA yang MENGEJUTKAN adalah
Mereka senang dan merasa nyaman dengan kehidupan mereka seperti itu. Bukan karena komunitas mereka, namun mereka bisa saving, dari tingginya cost of living di kota besar. Mereka tidak perlu membayar sewa rumah dan utilitas yang layak dengan harga yang sangat tinggi, untuk mandi mereka bisa memanfaatkan kebocoran pipa. Jadi, kalau kita menghitung kebutuhan air bersih untuk masyarakat, kita harus memasukkan variabel kebutuhan air jika terjadi kebocoran pipa dan apakah itu sebenarnya dimanfaatkan oleh golongan ini?
Dan kita tau, memang biaya untuk mendapatkan rumah yang layak memang sangat tinggi, baik yang ada di tengah kota maupun pheripheri area, ditambah lagi kehidupan mereka yang nomaden, eh, boleh kan menggunakan kata ini, secara mereka suka berpindahpindah lokasi? Mereka tidak membutuhkan hunian yang tetap.
Dengan kehidupan mereka yang seperti itu, mereka dapat menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi, wow..! that is a big wow for me, pardon me if i underestimate them. Yah, walaupun anaknya harus mencari uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari, namun untuk uang kuliah per semester masih ditanggung oleh orangtua mereka yang notabene adalah pemulung dan tinggal digerobak!
Kehidupan seperti itu juga memberikan security buat mereka di masa tua karena dengan hidup seperti itu, mereka bisa mengirim uang lebih banyak kepada keluarga yang di kampung, membangun rumah dan tabungan untuk mereka di masa tua ketika mereka kembali ke kampung nantinya.
dan itu bagus ... mereka sudah memiliki perencanaan yang matang dengan memilih cara hidup seperti itu.
Disisi lain, saya berfikir, semahal itu  living cost di kota besar, terutama untuk hunian, dengan mengurangi biaya hunian saja mereka sudah bisa melakukan banyak hal yang banyak orang yang memiliki hunian tetap lakukan, misal menyekolahkan anaknya sampai di perguruan tinggi.
dan saya mulai menghubungkan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
Rusunawa atau yang biasanya disebut dengan rumah susun sewa memang salah satu tujuannya untuk masyarakat yang tidak tetap tinggal dalam suatu daerah karena pekerjaannya, dan dengan menyewa rumah, mereka masih bisa saving, kemudian dengan uang hasil saving itu diharapkan mereka dapat pindah ke lingkungan yang lebih baik, dengan prasarana sarana dan utilitas yang lebih baik pula.
Namun permasalahannya, rusunawa tersebut, di Indonesia, kebanyakan merupakan public housing, dimana pengeluaran masyarakat yang tinggal disana, lebih dari 30% nya digunakan untuk membayar sewa rumah plus prasarana, sarana dan utilitasnya. Belum lagi pengeluaran untuk konsumsi, pendidikan, transportasi, dan lainnya, jadi bagaimana mereka bisa saving?
Di negaranegara luar sana, terutama negara maju, banyak yang menyediakan social housing untuk ditinggali masyarakat kelompok ini. di Indonesia, hal itu tidak bisa dilakukan. Kenapa?
Karena kita jelasjelas BUKAN PEMBAYAR PAJAK YANG BAIK.

Kita tidak bisa menerapkan subsidi penuh (sesuai dengan aturan social housing ataupun public housing). Yang kita tau, pajak adalah pemasukan utama negara yang utama, perekonomian yang baik adalah jika masyarakat maupun stakeholder yang lain membayar pajak dengan baik dan taat.
Dengan kondisi seperti itu, kita tidak bisa berharap sepenuhnya kepada pemerintah untuk memberikan subsidi kepada golongan seperti diatas, masyarakat juga berperan serta, tapi entah karena kurang kemampuan finance mereka ataupun kurang sadarnya mereka aka itu, jadi banyak yang cuek, tidak peduli, banyak juga yang berpikir itu tidak adil. Kalau saya sih, secara pribadi, maaf bukannya sok suci atau agamis, tapi saya mencoba berpikir secara rasional, benar jika kita menyisihkan 2,5% penghasilan kita untuk golongan tersebut, bukankah memang itu bagian dari hak mereka, kegiatan ekonomi itu berputar, dan yang bermain bukan hanya orangorang kaya saja, bahkan kaum pemulung pun memiliki andil untuk itu. Coba saja kalau kita mau mentaati itu, inequality akan semakin mengecil.