Hampir setiap hari
saya ke kantor naik bis (kadangkadang naik ojek soalnya) dan sering banget
ketemu ama pengamen dan orangorang baru. Entah ini sedang menjadi
trend atau apa dikalangan pengamen, banyak dari mereka yang menyanyikan lagi ciptaan
mereka sendiri, yang liriknya banyak berisi tentang sulitnya hidup di Jakarta,
pengangguran, korupsi dan pemerintah beserta janjijanjinya yang mereka anggap
gagal. Bagi saya yang menarik adalah ketika mereka mencoba untuk
mengkritisi betapa lemah pemerintah untuk menyediakan lapangan
pekerjaan. Kalau soal pengangguran dan peranan pemerintah untuk
menciptakan lapangan pekerjaan, pasti sangat luas ceritanya.
1. Kondisi
pengangguran dan Statistik Ketenagakerjaan
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja merupakan suatu
indikator yang digunakan untuk menunjukkan seberapa besar penduduk usia kerja
di suatu wilayah yang bekerja ataupun sedang mencari pekerjaan Dari data
terlihat bahwa angka paertisipasi kerja di Indonesia rata-rata adalah 67%,
angka ini tergolong sedang dan yang bukan termasuk dalam usia kerja sebesar
23%. Adapun yang termasuk bukan angkatan kerja antara lain adalah pelajar, ibu
rumah tangga, pensiunan dan lainnya.
Angka
pengangguran di Indonesia sangat fluktuatif, pada tahun 2005 angka pengangguran
di Indonesia tergolong tinggi, yaitu sekitar 11% yang kemudian mengalami
penurunan. Keadaan ketenagakerjaan Indonesia Februari 2009 :
· Jumlah
angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2009 mencapai 113.74 juta jiwa,
bertambah 1,79 juta jiwa dibanding jumlah angkatan kerja Agustus 2008 sebesar
111,95 juta jiwa atau bertambah 2,26 juta jiwa dibanding Februari 2008 sebesar
111,48 juta jiwa.
· Jumlah
penduduk yang bekerja di Indonesia pada Februari 2009 mencapai 104.49 juta
jiwa, bertambah 1.94 juta jiwa dibanding keadaan pada Agustus 2008 sebesar
102.55 juta jiwa atau bertambah 2.44 juta jiwa dibanding Februari 2008 sebesar
102.05 juta jiwa.
· Tingkat
pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2009 mencapai 8.14 %, mengalami
penurunan apabila dibandingkan dengan penganggutan Agustus 2008 sebesar 8.39%
dan pengangguran Februari 2008 sebesar 8.46%.
· Dibanding
Februari 2008 hampir seluruh sektor mengalami peningkatan lapangan kerja,
kecuali sektor konstruksi yang mengalami penurunan lapangan kerja sebanyak 120
ribu jiwa dan sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi yang menurun
sebanyak 60 ribu jiwa. Sektor yang mengalami peningkatan terbesar adalah sektor
perdagangan yaitu naik 1.16 juta jiwa, sektor jasa kemasyarakatan naik 830 ribu
jiwa dan sektor pertanian naik 340 ribu jiwa.
· Pada
februari 2009, jumlah penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan sebanyak
28.91 juta jiwa (27.67%), berusaha dibantu buruh tidak tetap sebanyak 21.64
juta jiwa (20.71%) dan berusaha sendiri brjumlah 20.81 juta jiwa (19.92%).
· Berdasarkan
jumlah jam kerja maka Febrauri 2009 penduduk yang bekerja diatas 35 jam per
minggu mencapai 73.12 juta jiwa (69.98%), sedangkan yang bekerja dengan jumlah
jam kerja kurang dari 8 jam per minggu hanya sekitar 1.58 juta orang (1.51%).
· Pekerja
dengan pendidikan SD ke bawah mengalami penurunan sebanyak 190 ribu jiwa dalam
setahun terakhir (Februari 2008 - Februari 2009), namun jumlahnya masih
tetap mendominasi lapangan kerja di Indonesia yaitu sebanyak 55.43 juta jiwa
(53.05%) pada Februari 2009[1].
Dari data diatas, dapat diketahui bahwa setelah krisis
moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998, pertumbuhan ekonomi
semakin membaik, inflasi juga semkain menurun, semakin rendah inflasi berarti perekonomian
semakin stabil dan terjaga, hutang luar negeri Indonesia semakin menurun, namun
tidak dengan tingkat pengangguran yang tetap, jika melihat negara-negara lain,
mereka berhasil menurunkan tingkat pengangguran.
· Data
diatas memperlihatkan sulitnya untuk menurunkan tingkat pengangguran di
Indonesia,salah satunya terkait dengan tingkat investasi di Indonesia yang
masih lemah. Dana yang dengan mudah ‘keluar-masuk’ di Indonesia tidak membawa
perubahan yang berarti bagi pengurangan ketenagakerjaan di Indonesia. Investor
hanya ingin proses produksi di Indonesia dengan memakai tenaga kerja Indonesia
yang upahnya harus “banting harga” agar tidak kalah bersaing dengan
negara-negara asia lain yang memiliki karakteristik jumlah penduduk dan tenaga kerja
yang mirip dengan Indonesia, contoh China dan India, tanpa adanya transfer
teknologi, sehingga jika perusahaan tersebut sewaktu-waktu keluar dari
Indonesia, maka angka pengangguran akan langsung naik secara drastis.
· Di
sisi lain, pencari kerja Indonesia adalah dominannya memiliki latar belakang
pendidikan yang rendah, yaitu SLTP ke bawah. Dengan tingkat pendidikan yang
rendah dan kurangnya keahlian, membuat daya saing Indonesia dengan negara
lainnya semakin lemah. Namun tidak berarti pemerintah diam saja, pemerintah
banyak membuka Balai Latihan Kerja (BLK) yang tersebar di seluruh Indonesia
untuk meningkatkan kualitas SDM. Keadaan lain yang mempengaruhi pengengguran
adalah kesempatan kerja, sekitar 44% kesempatan kerja ini berada di sektor pertanian
dimana produksi sektor ini masih tergolong rendah. Transformasi ekonomi yang
merubah kegiatan perekonomian dari sektor primer menjadi sektor sekunder serta
sektor tersier telah berhasil, namun sayangnya tidak diiringi oleh transformasi
tenaga kerja.
2. Pertumbuhan
Penduduk, Tingkat Pendidikan, Migrasi dan Pengangguran
a. Pertumbuhan
Penduduk, Tingkat Pendidikan dan Pengangguran
Indonesia memiliki penduduk yang tinggi,
jika terdapat pertumbuhan penduduk sekecil apapun pasti akan berdampak sangat
besar bagi jumlah penduduk. Namun sayangnya, keadaan perekonomian indonesia
yang masih kurang sehat setelah diterpa beberapa kali krisis, belum dapat
memberikan kehidupan yang layak bagi seluruh warga negaranya. Pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi selama ini semu karena hanya kalangan-kalangan tertentu
yang dapat menikmatinya, sehingga koefisien gini di Indonesia semakin besar.
Dengan landasan itulah, jumlah penduduk di Indonesia yang menempati golongan
menengah ke bawah masih lebih besar jika dibandingkan dengan golongan menengah
ke atas. Golongan kelas menengah ke bawa inilah yang memiliki jumlah anggota
keluarga yang besar karena keterbatasan akses mereka untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak, pendidikan dan akses untuk mendapatkan hiburan sehingga mereka
lebih memiliki waktu luang.
Banyak dari golongan menengah kebawah yang
tidak menyadari beratnya beban untuk memberikan kehidupan yang layak bagi
anak-anak mereka, dengan penghasilan yang mereka miliki (golongan kelas ini
mayoritas merupakan pekerja dengan upah yang rendah) harus dibagi dengan jumlah
anggota keluarga yang dimiliki, untuk biaya konsumsi sekeluarga masih sangat
kurang mencukupi apalagi untuk biaya pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Dengan tingkat pendidikan yang rendah, mereka tidak memahami pentingnya untuk
merencanakan jumlah keluarga yang sehat melalui program keluarga berencana,
sehingga beban yang dipikul oleh keluarga miskin dengan banyak anak semakin
berat.
Rendahnya upah pekerja di Indonesia lebih
disebabkan karena tingginya supply dari faktor tenaga kerja, namun demand yang
berasal dari sektor produksi tidak sebanding. Dengan ini produsen selaku pihak
demand memiliki posisi tawar yang lebih kuat dibandingkan dengan para pencari
kerja sehingga para pekerja mau dibayar lebih rendah asalkan dapat bekerja.
Pemerintah Indonesia juga tidak memiliki sistem jaminan soial untuk
pengangguran dan masyarakat golongan menengah ke bawah karena tingginya biaya
yang harus dikeluarkan dan keuangan pemerintah tidak sanggup untuk membayarnya.
Sistem upah merupakan kebijakan dan
strategi yang menentukan kompensasi yang diterima pekerja, dimana sistem upah
harus sesuai dengan kebutuhan pekerja dan kemampuan perusahaan, maka dari itu
digunakan Upah Minimum Regional (UMR). Biasanya rata-rata upah selalu lebih
tinggi dibandingkan dengan UMR sehingga seharusnya para pekerja dapat hidup
sesuai atau berkecukupan, namun permasalahannya adalah pada inflasi. inflasi
sering terjadi apabila ada isyu yang menyebutkan bahwa akan ada kenaikan upah,
sebelum kenaikan upah terjadi, harga barang-barang sudah mengalami kenaikan dan
ketika adanya kenaikan upah, harga barang-barang naik lagi, sehingga terjadi
dua kali kenaikan. Inflasi yang terbesar berada pada sektor bahan makanan,
sehingga masyarakat kelas menengah ke bawah lebih banyak menganggarkan
pendapatannya pada konsumsi.
Kebijakan pemerintah untuk
menyediakan layanan pendidikan gratis menuai sambutan yang positif namun pada
kenyataannya masih banyak iuran dan pungutan yang dilakukan oleh sekolah
setempat. Tingginya uang buku, uang gedung, seragam dan lainnya menyebabkan
akses untuk mendapatkan pendidikan yang layak sangat sulit. Sehingga banyak
anak usia sekolah yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak karena putus
sekolah dan terpaksa membantu orang tua mereka bekerja dan ini merupakan salah
satu penyebab dari banyaknya anak-anak jalanan yang menjadi masalah di
perkotaan. Tingkat pendidikan yang rendah, akan sangat sulit untuk masuk di sektor
formal, mendapatkan pekerjaan yang sesuai dan mendapatkan upah yang layak,
sehingga kebutuhan dasar tidak akan pernah tercukupi, lingkaran setan
kemiskinan akan terus berlangsung.
b. Urbanisasi,
Pengangguran dan Sektor Informal Kota
Kondisi fisik dasar daerah juga
mempengaruhi ketersediaan lapangan pekerjaan yang ada. Banyak daerah yang
ditinggalkan karena lahannya yang kurang subur, kurangnya inisiatif bagi
pemerintah daerah untuk mengembangkan wilayahnya, kurangnya investor sehingga
produksi daerah sangat sedikit dan menyebabkan daerah tersebut miskin sehingga
lapangan pekerjaan untuk memenuhi jumlah pencari kerja sangat minim, sehingga
para pencari kerja mencari daerah yang menawarkan banyak pilihan pekerjaan atau
spesialisasi kegiatan dan yang dapat menampung tersebut adalah daerah perkotaan
sehingga terjadilah urbanisasi.
Di daerah urban, tidak semua tenaga kerja
terserap di sektor lapangan pekerjaan yang ada karena salah satunya kembali
pada tingginya jumlah pencari kerja, ketrampilan dan latar belakang pendidikan
yang dimiliki oleh para pencari kerja, sehingga terjadilah pengangguran.
Pengangguran jarang ada yang mau kembali ke daerah asalnya karena ego dan rasa
malu, karena tidak terserap di sektor formal, maka para pekerja ini membuat
lapangan pekerjaannnya sendiri dengan membuka lapangan kerja informal
perkotaan, seperti pedagang kaki lima.
Lapangan kerja sektor formal memiliki upah
yang lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik dibandingkan sektor
informal. Selain itu, pekerja disektor formal memiliki kesempatan untuk
memperoleh ketrampilan dan akses terhadap pelatihan sehingga memiliki peluang
yang lebih besar untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka.
Sebaliknya pekerja di sektor informal sangat sedikit yang memiliki akses untuk
itu karena sifatnya yang free entry, free exit karena bariernya sangat rendah,
sehingga jumlahnya sangat sulit terdata. Sektor informal ini dapat
dikategorikan sebagai pengangguran terselubung karena jam kerja mereka yang
tidak menentu, begitupula dengan penghasilan namun mereka tidak masuk dalam
sektor formal yang mendorong tubuhnya perekonomian nasional.
3. Implikasi
Kebijakan
a. Ketidakseimbangan
pembangunan urban-rural
Selama ini terdapat disparitas pembangunan
wilayah di seluruh Indonesia, termasuk urban-rural. Kebijakan pembangunan yang
selama ini lebih mengarah pada urban area menjadikan daerah rural sangat jauh
tertinggal baik itu dari sarana prasarana fisik, sampai pada indikator sosial
ekonomi. salah satu indikator sosial ekonomi adalah pada perbedaan tingkat
upah. Dimana tingkat upah di daerah urban lebih tinggi dari rural, dengan
perbedaan tingkat upah itulah mendorong tingginya urbanisasi, ketika lapangan
pekerjaan di daerah urban tidak lagi dapat menampung urbanisasi, maka akan
menaikkan tingkat pengangguran di perkotaan.
b. Pengembangan Lapangan
Pekerjaan di Daerah Urban
Pengembangan lapangan pekerjaan di daerah
urban tidak efektif untuk mengurangi pengangguran di perkotaan, karena dengan
dibukanya satu lapangan pekerjaan, maka dua atau tiga migrant yang masuk dalam
lapangan pekerjaan tersebut, karena ekspektasi terhadap upah yang diterima dan
kesempatan kerja. Sehingga kebijakan untuk menciptakan lapangan kerja
yang baru diperkotaan, alih-alih ingin mengurangi tingginya pengangguran di
perkotaan malah meningkatkan pengangguran dan menurunkan output sektor
pertanian karena tenaga kerja di sektor pertanian, pindah ke sektor perdagangan
atau jasa di kawasan urban.
c. Perpanjangan Masa Pendidikan
Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia namun tanpa diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang menampung
kegiatan spesialisasi sehingga menyebabkan bertambahnya pengangguran.
Saat ini jumlah pengangguran intelektual di Indonesia
terus bertambah. Hal itu terjadi lantaran kebijakan pemerintah yang membiarkan
sejumlah perguruan tinggi (PT) membuka program studi baru yang tidak menjawab
kebutuhan sektor kerja. Menurut hasil survey angkatan kerja nasional BPS (Badan
Pusat Statistik) Februari 2007, tercatat pengengguran 10.5 juta jiwa (9.75%).
Sedangkan pengangguran intelektual sebanyak 740.206 jiwa (7.02%)
Ekspansi pendidikan yang sembarangan dalam mengangkat
pegawai akan menyebabkan bertambahnya tingkat migrasi dan pengangguran, karena
pada tingkat upah yang sama, perusahaan lebih memilih untuk memperkerjakan
pegawai yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, walaupun tingkat
pedidikan dan ketrampilan lebih tinggi tidak memberikan kontribusi untuk
performa pekerjaan yang lebih baik. Dimana dahulu pekerjaan yang ‘remeh’
dikerjakan oleh pegawai yang memiliki tingkatan pendidikan yang rendah,
sekarang dikerjakan oleh pegawai yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi.
Para imigran yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan
masyarakat di kota (karena universitas dan sekolah tinggi yang lain mayoritas
berada di perkotaan), sekarang sulit untuk bersaing dengan pencari kerja yang
memiliki status pendidikan yang lebih tinggi, walaupun ketrampilan yang
dimiliki oleh pegawai yang memiliki pendidikan lebih tinggi tidak terlalu baik
untuk mengerjakan pekerjaan tersebut, sehingga pengangguran di perkotaan akan
meningkat. Selain itu, para pencari kerja dengan tingkat pendidikan yang tinggi
juga saling bersaing untuk masuk dalam lapangan kerja yang kecil tersebut,
sehingga bagi mereka yang tidak tertampung dalam lapangan kerja menjadi
pengangguran terdidik. (Economic Development, Todaro)
Dari sini dapat kita lihat bahwa Kebijakan pemerintah
yang selama ini mementingkan daerah urban, sekarang harus berubah arah ke
daerah rural agar disparitas wilayah mauapun pendapatan tidak terlalu tinggi,
karena daerah rural lah yang terdapat banyak jumlah orang miskin bukan kota
karena aksesibilitas mereka untuk mendapatkan hak dasar untuk hidup masih
sangat minim.
Kebijakan fiskal dalam bentuk peningkatan pengeluaran
pemerintah untuk pembangunan infrastruktur pedesaan dan sektor pertanian dapat
dijadikan sebagai penggerak perekonomian secara keseluruhan, ini juga dapat
digabungkan dengan MP3EI untuk mewujudkan program pemerintah pro job, pro poor
dan pro growth yang samapai sekarang belum terlihat hasilnya karena (menurut
saya) perencanaan dan indikatornya masih terlalu makro dan belum fokus.
Pengembangan aktivitas perekonomian rural yang
melibatkan investasi swasta dapat mempercepat penurunan kemiskinan. Salah
satunya dengan cara penggabungan antara sektor pertanian dengan industri atau
agroindustri. Dengan adanya agroindiustri, produk pertanian akan mendapatkan
nilai tambah yang itu berarti juga akan memperbesar pendapatan masyarakat.
Industri (yang bersifat padat karya) dan pertanian merupakan kegiatan yang
menyerapa banyak tenaga kerja, sehingga daerah rural lah yang menjadi pusat
pertumbuhan kegiatan (mengganti daya tarik dari perkotaan) sehingga masyarakat
rural tetap bertahan di daerahnya dan penduduk rural yang menjadi pengangguran
diharapkan mau kembali ke dearah rural (ruralisasi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar