12 Februari 2012

Kawasan Perbatasan Indonesia

NKRI sebagai negara kepulauan memiliki lebih dari ±17.508 pulau, dengan panjang garis pantai lebih dari 80.290 km. Kondisi geografis tersebut menyebabkan Indonesia berbatasan dengan banyak negara, baik di darat maupun laut. Di daratan, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara yaitu Malaysia (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur dengan Serawak dan Sabah), propinsi Papua dengan Papua New Guinea dan Nusa Tenggara Timur dengan Timor Lorosae. Di wilayah laut, berbatasan dengan sepuluh negara yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, Papua New Guinea, Australia dan Timor Lorosae.
Wilayah perbatasan, memiliki peranan penting dalam menjamin keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena wilayah perbatasan yang memiliki keterikatan kuat antara Indonesia dengan negara-negara lain, sehingga mempengaruhi kegiatan yang ada diatasnya. Selain itu, posisi wilayah perbatasan mempunyai dampak politis dan fungsi pertahanan kemanan nasional, dan itulah sebabnya mengapa kawasan perbatasan harusnya merupakan prioritas utama dalam pembangunan kawasan.
Kondisi kawasan perbatasan Indonesia saat ini seperti diabaikan sama sekali dari pembangunan di Indonesia, hal ini terlihat dari ketersediaan dan kualitas infrastruktur yang belum terpenuhi dengan baik, begitu pula dengan tingkat kesejahteraan penduduknya baik dari segi sosial maupun ekonomi. sulitnya masyarakat perbatasan mengakses kebutuhan dasar seperti sarana pendidikan, kesehatan maupun kegiatan perekonomian, ini disebabkan oleh paradigma kebijakan pembangunan yang menganggap bahwa kawasan perbatasan merupakan “daerah belakang” bukan “beranda” dari Indonesia.
Perbedaan yang sangat mencolok dapat dilihat dan dirasakan apabila kita berkendara menggunakan jalur nasional dari Pontianak ke Entikong menuju Kuching dan kembali dari Kuching menuju Entikong. Meskipun jalan Trans Kalimantan dari Pontianak ke Entikong saat ini jauh lebih baik dan sebagian besar telah beraspal, namun di sana-sini terdapat jalan-jalan yang ditambal sulam dan berlubang-lubang. Belum lagi masih ada ruas jalan, sekitar 32 km lebih, yang dalam tahap pengerasan, sehingga pengemudi yang melewatinya harus terlonjak-lonjak di dalam mobilnya. Sesampainya di Entikong, kita pun dapat menemukan banyak jalan-jalan poros yang masih berupa jalan tanah, kerikil, dan batu. Selain itu, terdapat ±50 jalan setapak dan berpuluh-puluh jalan tikus yang menghubungkan 55 desa di Kalimantan Barat dengan 32 kampung di Sarawak. Apabila malam menjelang, Trans Kalimantan terselimuti pekatnya kegelapan malam karena fasilitas lampu jalan masih belum ada. Hanya lampu-lampu mobil dan sesekali sepeda motor yang jadi penerang para pengendara yang melintas. Padahal, jalan-jalan di Kalimantan tidak memiliki bahu jalan karena biasanya langsung berada di tepi tebing, jurang, ataupun sungai kecil, dan deretan rumah penduduk[1]. 


Secara umum terdapat beberapa isu strategis yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan perbatasan. Di lihat dari kekayaan sumberdaya alam dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan, ternyata kondisi kawasan perbatasan di Indonesia menyimpan paradoks. Sumberdaya alam yang berlimpah baik di darat maupun di laut, seharusnya menjadi modal untuk pembangunan kawasan perbatasan ini. Namun nyatanya potensi sumberdaya alam tersebut belum mampu dimanfaatkan secara adil, optimal dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, bahkan di beberapa lokasi, kawasan perbatasan dieksploitasi secara ilegal oleh pihak asing[2].
Kawasan perbatasan memiliki banyak potensi yang belum digali oleh pemerintah Indonesia karena pemerintah Indonesia sendiri kurang mengenal wilayah perbatasan dengan baik, berbeda dengan negara-negara yang langsung berbatasan langsung dengan wilayah perbatasan indonesia. Itulah mengapa sebabnya, banyak pulau-pulau wilayah perbatasan yang banyak di klaim oleh negara tetangga, padahal pulau tersebut memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar, antara lain adalah potensi wisata.
Pulau dan kawasan terluar tersebut, selama ini banyak yang masih belum tersentuh oleh pembangunan, sehingga keadaan alamnya masih murni ditambah lagi dengan culture masyarakat yang masih sangat kental, memberikan nilai tambah bagi wisatawan lokal dan manca negara yang ingin menggali keindahan alam tradisional Indonesia,
Selain masalah perbatasan wilayah, masih banyak kasus pelanggaran hukum di wilayah perbatasan seperti : Kasus imigran gelap, pengambilan sumber daya alam secara ilegal, pelabuhan tikus dan penyelundupan.
Pepres 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar yang bertujuan untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa, serta menciptakan stabilitas kawasan melalui pemanfaatan sumberdaya alam dalam upaya pembangunan yang berkelanjutan serta memberdayakan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan.
Pemerintah juga telah menerbitkan UU No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, dimana beberapa hal pokok yang diatur antara lain adalah pengaturan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi, dan daerah dalam pengelolaan batas wilayah dan kawasan negara, dimana pemda memiliki kewenangan yang lebih besar dalam upaya pembangunan sosial dan ekonomi. Selanjutnya juga mengamanatkan pembentukan Badan Pengelola di tingkat pusat dan daerah yang bertugas mengelola Batas Wilayah dan Kawasan Perbatasan dalam hal penetapan kebijakan dan program, penetapan rencana kebutuhan anggaran, pengkoordinasian pelaksanaan, evaluasi dan pengawasan, serta perumusan keikutsertaan masyarakat dalam menjaga dan mempertahankan wilayah negara termasuk kawasan perbatasan.
Kawasan perbatasan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Dimana didalamnya terdapat definisi mengenai daerah perbatasan, “daerah perbatasan adalah daerah batas wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia dan daerah batas wilayah negara tetangga yang disepakati bersama berdasarkan perjanjian lintas batas (crossing border agreement) antara Pemerintah Republik Indonesia dan negara tetangga, berdasarkan peraturan perundang-undangan.”
UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah hanya mengatur secara umum fungsi pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan daerah, namun tidak menyentuh point-point yang eksplisit untuk kewenangan dan mekanisme pengelolaan perbatasan negara, baik darat, laut, maupun udara. UU No 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) hanya mengatur peran-peran operasional TNI sebagai kekuatan pertahanan, bukan pada aspek policy kebijakan pertahanan, apalagi penanganan wilayah perbatasan. Demikian pula UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mengatur rancangan kerja dan pengembangan yang masih berorientasi pada wilayah non perbatasan dan terfokus pada daratan.
Indonesia kaya dengan sumber daya alam, tidak hanya sumberdaya flora, namun juga fauna. Dengan ketidakjelasan batas wilayah da kurangnya penjagaan di kawasana perbatasan, menjadikan banyaknya kasus pencurian kayu dan ikan padahal sumberdaya tersebut bernilai puluhan triliyun rupiah per tahuan dan semakin lama kegiatan tersebut semakin meningkat. Salah satu yang menyebabkan kenaikan kegiatan pencurian sumberdaya alam kita adalah kualitas dan kuantitas aparat keamanan di wilayah perbatasan selain itu belum adanya kerjasama yang terintegrasi antara sektor atau instansi satu dengan lainnya.
Berkaitan dengan masalahan penanganan perbatasan, Indonesia juga memiliki persoalan SDA di laut, yaitu pencurian ikan(illegal fishing). FAO (Food and Agriculture Organization) memperkiran Indonesia memperoleh kerugian mencapai Rp 30 Triliun per tahun, dengan estimasi tingkat kerugian sekitar 25% dari total potensi perikanan yang dimiliki Indonesia sebesar 1,6 juta ton/tahun. Laut Cina Selatan, Perairan Sulawesi bagian Utara dan Laut Arafuru merupakan tempat yang sering menjadi sasaran pencurian SDA laut oleh kapal warga asing, yang mayoritas berasal dari Cina, Thailand dan Filiphina. Pada tahun 2007, Departemen Kelautan dan Perikanan berhasil menghukum 184 kapal dari 2.207 kapal ikan yang diperiksa oleh kapal pengawas. Dari penangkapan tersebut, kerugian negara yang berhasil diselamatkan diperkirakan mencapai Rp 439,6 M. Dari tahun 2003-2007, Departemen Kelautan dan Perikanan berhasil merampas kapal ilegal sebanyak 148 unit dengan rincian di Sumatra 77 unit, di Kalimantan, Maluku dan Papua masing-masing 28 unit di Jawa 10 unit, serta di Sulawesi 5 unit[3]. Faktor-faktor lain yang menyebabkan pencurian kekayaan alam di kawasan perbatasan, antara lain :
§  Medan kawasan di kawasan perbatasan dan jauhnya lokasi dari pusat pemerintahan serta permukiman penduduk, memberikan peluang yang besar terjadinya kejahatan di kawasan perbatasan,
§  Kurang adanya kegiatan masyarakat di kawasan perbatasan. Karena tidak ada kegiatan di kawasan tersebut yang diakibatkan lokasinya yang sangat terpencil baik diperbatasan darat, laut maupun pulau.
§   Tidak mempunyai rasa kebanggaan dan rasa memiliki atas wilayah Indonesia yang kaya akan sumberdaya yang berkembang di kawasan perbatasan dan rendahnya kesadaran geografi maritim, sehingga  juga menyebabkan pelanggaran tersebut terjadi.
§  Lemahnya hukum dan peraturan perundang-undangan perbatasan. Hal ini tidak lepas dari belum absahnya (legal) garis batas negara.
§  Adanya disparitas sosial ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan. Selama ini kondisi sosial ekonomi masyarakat perbatasan berada di bawah standart minimum, tidak adanya program pembangunan khusus untuk meningkatkan keberdayaan kawasan perbatasan yang selama ini dianggap sebagai “daerah belakang” yang menyebabkan kawasan perbatasan yang seharusnya menjadi “beranda” dari Indonesia menjadi daerah yang terbelakang. Maka dari itulah dapat dipahami kalau kawasan perbatasan indonesia sering menjadi ajang kegiatan kriminal yang dari waktu ke waktu semakin marak.

Para pelintas batas [4]ilegal penduduk disebabkan beberapa faktor antara lain adalah kondisi wilayah perbatasan yang kurang adanya kegiatan dan pengawasan (masih berupa hutan alam) atau malah tidak adanya batas kegiatan antara negara satu dengan negara lainnya, seperti adanya jalan yang memperlancar akses, pasar yang menjadi pusat kegiatan masyarakat, sarana kesehatan dan lain-laian, selain itu, masih dengan alasan yang sama, kurang adanya pengawasan dan batas yang jelas antara negara kita dengan negara tetangga.
Dengan adanya pelintas batas illegal ini, menjadikan negara mengalami kerugian, karena kelebihan barang atau jumlah FOB yang ditentukan terhadap barang pelintas batas, wajib dikenakan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor lainnya. Bea masuk dan pajak merupakan salah satu pendapatan negara, jika terdapat pelintas batas illegal, maka negara tidak mendapatkan pendapatan yang seharusnya, sehingga negara menjadi rugi[5].
Alasan bagi para pelintas batas ilegal tersebut antara lain karena kurangnya sarana dan prasarana yang ada di dalam wilayah, disparitas wilayah baik dari tingkat ekonomi sampai pendidikan antara negara kita dengan negara tetangga menjadi faktor yang dominan dalam kegiatan tersebut. Selain itu, kurang adanya kontrol di wilayah perbatasan dua negara sering menjadikan wilayah tersebut sebagai lokasi kejahatan, antara lain kejahatan pencucian uang, penyelundupan narkoba [6], penyelundupan senjata kecil dan ringan di daerah-daerah konflik Indonesia merupakan masalah yang harus segera ditangani.
Dengan adanya permasalahanpermasalahan yang terjadi di lapangan, maka pemerintah diharapkan dapat merubah paradigma yang ada selama ini. Aksiaksi nyata pemerintah untuk menuntaskan sejumlah perundingan perbatasan dengan negara-negara tetangga agar Indonesia memiliki garis batas yang jelas dan diakui oleh masyarakat dan negara internasional, sangat diharapkan keberhasilannya. Begitu pula dengan penambahan sejumlah pos pengamanan di daerah perbatasan serta merelokasi pangkalanpangkalan TNI AL ke titik terdepan wilayah Indonesia untuk pertahanan dan serta melakukan operasi pengawasan di wilayah perbatasan oleh instansi terkait.
Pembangunan kawasan perbatasan erat kaitannya dengan peningkatan pertahanan negara, karena pertahanan negara mengikutsertakan seluruh komponen bangsa seperti yang ada dalam Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara. Karena pertahanan negara merupakan kepentingan nasional yang harus dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia, pertahanan negara yang kuat, akan berpengaruh terhadap kedautan bangsa dan negara, selain itu, stabilitas ekonomi memiliki hubungan yang erat terhadap stabilitas perekonomian makro Indonesia yang berdampak pada penguatan, pertumbuhan dan perkembangan ekonomi negara.





[1] Perpustakaan Kementrian Pekerjaan Umum, www.pustaka.pu.go.id

[2] Dr. Suprayoga Hadi, MSP. Mempertimbangkan Pendekatan Keamanan, Tabloid Diplomasi, Juni 2009

[3] DKP Ancam Tenggelamkan Kapal Asing Pencuri Ikan, Antara News, 22 April 2008, www.antara.co.id
[4] Pelintas batas adalah penduduk yang berdiam atau bertempat tingal dalam wilayah perbatasan negara serta memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang yang melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan melalui Pos Pengawas Lintas Batas. (www.beacukai.go.id)

[5] Ibid. Data Kantor Wilayah Direktorat Jenderal dan Bea Cukai Khusus Kepulauan Riau menyebutkan selama Oktober 2009 hingga Oktober 2010, jumlah kasus penindakan impor ilegal sebanyak 48 kasus.

[6] Bea Cukai Kalbar-Malaysia Antisipasi Pencucian Uang, 18 November 2010, www.republika.co.id