20 Juni 2011

Bank Grameen

Kemiskinan bukanlah satusatunya tantangan serius yang dihadapi Bangladesh. Seperti di Indonesia dahulu, diskriminasi juga menyebabkan wanita Bengali berada dalam kondisi yang sangat sulit, kebanyakan keluarga hanya akan menyekolahkan anak lakilaki mereka karena lakilaki yang akan menjadi pencari nafkah pada masa depan. bukan hanya itu, anak lakilaki selalu punya makanan lebih banyak dan bagi perempuan, bersekolah atau berkumpul di tempat umum adalah sesuatu yang tabu. Kebiasaan ini masih dipatuhi sampai sekarang (tahun 1990).

Sistem mas kawin adalah sesuatu yang tragis, perlakuan yang kejam dan diskriminatif terhadap perempuan di Banglades. Seperti di India, pengantin wanita di Banglades harus memberi keluarga suaminya berupa maskawin berupa barang, kekayaan atau uang tunai yang sepadan. Meski praktik ini seharusnya melanggar hukum, istri yang berasal dari keluarga yang terlalu miskin untuk memberikan maskawin cukup, sering mendapatkan perlakuan buruk dan kejam dari suami serta ibu mertuanya. Pada akhirnya ia mungkin diusir atau dalam skenario terburuk, dipukuli sampai mati. Telah terjadi beberapa kasus dimana seorang suami membakar kain sari istrinya dan membiarkan sang istri tewas terbakar. Untuk alasan apapun itu, hal tersebut merupakan suatu tindak kejahatan dan anehnya mereka tidak mendapatkan hukuman. Itulah sebabnya, terutama di keluarga petani, kelahiran anak perempuan merupakan kekecewaan besar.

Perempuan Bangladesh harus hidup dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Istri tidak boleh bebas berpergian, bahkan berbelanjapun dikerjakan oleh suami. Hanya sedikit suami yang bisa menghasilkan cukup uang untuk menghidupi keluarganya dengan nyaman dan banyak wanita ingin bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. Sayangnya, sedikit sekali tempettempat yang memperbolehkan mereka bekerja. Keadaan ini sama dengan Indonesia era Kartini dahulu.

Tetapi sekarang wanita memiliki teman dan sekutu. Ada sebuah bank yang memberikan pinjaman kepada wanita untuk membantu mereka agar mandiri. Namanya bank Grameen (Grameen artinya desa). Suku bunganya normal, tapi untuk meminjam tidak diperlukan jaminan, bank ini memberikan pinjaman atas dasar kepercayaan. Sebelum munculnya Bank Grameen, tentu saja tidak ada bank yang mau meminjamkan uang kepada wanita tanpa modal atau jaminan.

Bank itu didirikan oleh Muhammad Yunus yang berasal dari Banglades, dengan uang 30 dollar yang berasal dari tabungan pribadinya. Hanya dalam waktu empat belas tahun, upaya ini berkembang menjadi Bank Grameen, dengan nilai sekitar 220 juta dollar. 94% peminjamnya adalah perempuanperempuan miskin.
Bank untuk kaum miskin, mengagumkan bukan?
Prof. Yunus mengunjungi Bank Grameen yang dibangunnya
Kondisi Bank Grameen, tidak ada bangunan, namun sistem yang bekerja
Dengan keinginan untuk memberikan kemandirian kepada wanita, yang bahkan tidak diijinkan untuk berpergian, ia memulai dengan membagikan 30 dollar kepada 42 wanita desa, sambil menyarankan mereka berternak ayam. Ketika ayam mulai bertelur, wanitawanita itu bisa menjual telurnya. Kemudian ia mengajari mereka cara menabung uang sedikit demi sedikit. Dr.Yunus percaya kepada wanita karena berdasarkan pengalaman pribadinya meminjamkan uang kepada pria, banyak yang tidak menepati janji mereka. Ketika hari mengembalikan uang tiba, kemungkinan besar semua uangnya sudah lenyap, dihabiskan untuk mabukmabukan. Sementara wanita, khususnya wanita miskin, cermat sekali dalam membayar bunga pada hari yang ditentukan. Kemudian, Dr. Yunus membagi wanitawanita tersebut ke dalam beberapa kelompok, sehingga jika seseorang tidak sanggup membayar pinjamannya tepat waktu, orang lain dalam kelompoknya dapat memberikan pinjaman, ia tau dengan saling membantu para wanita ini akan mendapatkan keuntungan tersendiri.

Bagaimanapun, wnitawanita itu harus mempelajari aritmatika untuk membuat perhitungan uang. Mereka juga harus belajar membaca. Lambat laun para wanita akan menyadari pentingnya pendidikan bagi anakanak dan mereka sanggup membiayai pendidikan anakanak dengan uang yang mereka hasilkan sendiri. Saat para wanita mulai mengarahkan pandangan kepada masyarakat, maka saat itulah segala sesuatu akan mulai membaik.

“toto-chan’s children”
Tetsuko kuroyanagi

14 Juni 2011

Racism


When I born, I black
When I grow up, I black
When I go in Sun, I black
When I scared, I black
When I sick, I black
And when I die, I still black

And you white fellow
When you born, you pink
When you grow up, you white
When you go in sun, you red
When you cold, you blue
When you scared, you yellow
When you sick, you green
And when you die, you grey

And you calling me coloured?

written by an anonymous african kid
*via my friend, indira

8 Juni 2011

Dari 'Atas' ke 'Bawah'

Masih tentang kesenjangan yang menjadi fokus pembicaraan temanteman dalam suatu organisasi yang saya ikuti. Kali ini bukan kesenjangan pendapatan penduduk dalam suatu kawasan atau daerah, namuan kesenjangan antar daerah. Indonesia bagian barat yang memiliki infrastruktur yang lebih baik dan Indonesia bagian timur yang masih banyak memiliki kekayaan alam.
Ditambah lagi dengan rendahnya daya saing kita (garagara infrastruktur kita yang parah), terbatasnya anggaran (pemerintah hanya bisa menyediakan 30% dari total kebutuhan pembangunan infrastruktur yang hingga 2014 mencapai Rp 1.429 triliyun) dan, maslah yang paling menyebalkan menurut saya, yaitu labirin aturan.

Negara kita membutuhkan perencanaan infrastruktur yang integrated agar wilayah berkembang dengan baik, tidak per bagian saja, namun diharapkan dapat menyeluruh.
Indonesia banyak menerapka model dari negaranegara tetangga, namun sayangnya Indonesia belum punya model sendiri untuk diterapkan sesuai dengan karakteristik Indonesia yang merupakan negara kepulauan (yang harusnya menjadi negara perikanan), negara yang memiliki iklim tropis, negara dengan jalur gunung api dan rawan bencana geologi, dsb dst.
Dulu, yang sangat terkenal adalah metode 'Growth Pole Theory (1980an)" yaitu percaya pada trickling down effect agar wilayah berkembang, namun kenyataannya?

Sekarang saya mendengar ada sesuatu yang menarik untuk dibicarakan yaitu MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia), saya langsung berfikir : ini sebuah solusi baru atau sekedar promosi?
MP3EI ini berasal dari : identify economic centers kemudian dibawa ke determine traffic density (dimana disini menggunakan matriks OD untuk melihat tingginya pergerakan barang dari daerah penghasil ke pusat ekonomi), identifikasi kembali dengan melihat RTRWN (incorporate RTRWN) dan mengidentifikasi sektor kunci bagianbagian pendukungnya, sehingga menjadi final corridor definition.
dan ini menjadi koridor yang integrated untuk pengembangan percepatan kawasan di Indonesia.
Produk MP3EI ini, terdapat 6 koridor dengan spesialisasinya masingmasing, yaitu KE (kawasan Ekonomi) Sumatra,  KE Jawa, KE Kalimantan, KE Sulawesi dan Maluku Utara, KE Bali dan Nusa Tenggara dan KE Papua serta Maluku.

Pengembangan MP3EI harus 'dihubungkan' dengan feeder sistem yang memadai (ini kalo dianalogikan seperti busway) dan disini perlu adanya keterlibatan pemerintah daerah. Sistem koridor MP3EI juga perlu dilengkapi dengan sebaran kegiatan ekonomi yang 'stand by' atau 'ready' untuk berkembang begitu ada infrastruktur (bukan idle status). Namun permasalahan yang kemudian diperkirakan muncul adalah belum adanya antisipasi terhadap eksternalitas yang akan terjadi, terutama dalam kawasan keseimbangan ekonomi timur-barat dan keadilan sosial, selain itu banyak juga yang memperkirakan proyek ini akan mandeg karena tidak adanya integrasi antar unadangundang *ini dilihat dari perspektif investor*. Misalnya di DPR, UU Pertanahan sampe sekarag belum selese, untuk pembangunan infrastruktur perlu mengacu pada UU Tata Ruang (RTRW maupun RDTR), kalo undangundang itu nggak selese, bagaimana investor dan stakeholders yang lain mau dan bisa untuk menjalankan mega proyek ini, ditambah dengan inkonsistensi program, apakah jika nantinya presiden kita ganti lalu proyek ini kemudian dilupakan begitu saja? 

Kemarin, doktor dan profesor berbicara dalam sebuah seminar : kita harus belajar pada Amerika sewaktu mereka membangun wilayahnya yang tertinggal, mereka tidak memperhitungkan apa itu cost benefit ratio, cost efective dan berbagai macam analisis ekonomi lainnya yang melihat apakah pembangunan proyek atau kegiatan tersebut menguntungkan atau tidak, mereka hanya berikir tentang kesetaraan, mengurangi kesenjangan, dimana nantinya diharapkan kawasan yang tertinggal tersebut akan mengikuti (development follow by ribbon).

Yang dipertanyakan disini adalah : apakah pemerintah kita berani untuk itu? Kalo pemerintah menyerahkannya pada private sektor, sepertinya harus ada incentive yang besar, dan *pengalaman* kita tau, bagaimana permintaan pembagian 'separuh besar dan separuh kichil' di daerah timur sana.
Pemerintah pusat harus tegas dalam memonitoring dan mengevaluasi program pembangunan dan kegiatan yang ada di masingmasing daerah, walopun sekarang ini kita sudah melakukan otonomi dan desentralisasi, namun pemerintah masih memiliki kewenangan untuk monitoring bukan? dan ini yang menjadi kelemahan di Indonesia, kurang bahkan hampir tak ada proses monitoring dan evaluasi, sehingga banyak terjadi penyimpangan.

crik kicrik

Beberapa malam lalu, ketika saya dan teman sedang menunggu giliran untuk mendapatkan martabak yang kami inginkan, ibatiba datanglah seorang anak kecil bersama ibunya yang juga tengah menggendong anak kecil lain.

Ya,
Mereka sedang mengamen, Ibunya menyanyi dan anaknya membawa kicrikan serta meminta uang pada yang mendengarkan

Kemudian saya bertanya pada teman saya :
'apa program PKH kita masuk ke dalam golongan ini?'
teman saya menjawab :
'susah, kalo kita memaksa anaknya untuk masuk sekolah, walopun kita memberikan mereka uang penggantinya, sepertinya belum cukup untuk menggantikan penghasilan per jam yang didapat oleh mereka.'

Saya jadi bingung, apa yang seharusnya kita bisa lakukan untuk memberikan masyarakat miskin tersebut hak nya?
Hak untuk mendapatkan pendidikan,
Hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan,
Hak untuk mendapatkan hunian dan lingkungan yang layak.

Saya pikir,
Pemerintah seharusnya tidak menyamaratakan kebutuhan pendidikan untuk seluruh anak usia sekolah di seluruh Indonesia, karena karakteristik masyarakat kita berbeda.
contohnya aja masyarakat nelayan di kawasan pesisir, mereka 'mengangkut' seluruh keluarganya untuk ikut melaut karena pulangnya aja tidak menentu. tergantung hasil tangkapan, kalo dengan begitu, apa anakanak tersebut harus dipaksa untuk masuk sekolah reguler?
bagaimana pula dengan anakanak usia sekolah yang berada di pedalaman Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan Papua? dimana jarak antara sekolah dengan rumah harus ditempuh dengan jarak yang berkilometer jauhnya tanpa adanya infrastruktur serta sarana prasarana publik yang mendukung?
*katanya tiap pemerintah daerah bikin SWOT untuk pengembangan wilayah fisik maupun non fisiknya, tapi koq tidak terlihat ya? begitu pula dengan mapping kantongkantong kemiskinan, banyak yang lost tuh*

Kemarin saya melihat sebuah artikel di koran online, dimana koran tersebut mengatakan bahwa :
Indonesia harus belajar dari Brazil, untuk masalah pendidikan.
kenapa?
karena Brazil memberikan layanan kepada masyarakatnya yang berada di daerah terpencil (daerah utara Brazil mayoritas merupakan hutan amazon dan masyarakat miskin pedesaan paling banyak berada di daerah ini) dengan mengirimkan guruguru (relawan tapi dibayar dan dimonitor oleh negara) agar anakanak disana mendapat pendidikan yang layak.

di Indonesia,
guruguru yang berada di pedalaman sana, benarbenar merupakan pahlawan tanpa tanda jasa.
mereka 'masuk' kesana karena kesadaran mereka sendiri, tanpa adanya perhatian dari pemerintah.

Mereka yang berada di bangunan atap lengkung berwarna hijau (yang katanya hampir roboh dan harus dibangun lagi dengan segala 'fasilitas mewah' itu), mengagungagungkan nama Pancasila, UUD 45.
Apakah mereka tau kesakralan atas itu?
*kalo mereka tau, tolong lihatlah masyarakat kita yang belum mendapatkan kesetaraan itu masih sangat banyak*
Otonomi dan desentralisasi di Indonesia yang sudah berjalan selama ini belum dapat mengurangi kesenjangan tersebut, namun semakin lama kesenjangan tersebut semakin terlihat melebar.
Kita negara yang kaya tapi miskin.

Tidak, saya tidak akan menggantungkan harapan untuk merubah bangsa dan negara ini kepada mereka yang sekarang ini menjadi wakil rakyat.
Tapi lebih pada gerakangerakan nyata dari masyarakat 'bawah' yang tidak pernah mereka pedulikan kecuali pada saat kampanye saja.
Mari berjuang generasi muda Indonesia untuk mewujudkan kehidupan Indonesia menjadi lebih baik!
*ini juga lagi kampaye lhoo* *err, menyemangati diri sendiri lebih tepatnya*

2 Juni 2011

Referensi : Kebijakan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Sekarang Ini.


Sebagaimana yang kita ketahui, dalam lima tahun terakhir ini, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup mengesankan. Di tengah krisis ekonomi yang menimpa perekonomian dunia, perekonomian Indonesia tetap mampu tumbuh positif dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi. Selama tahun 2006-2010, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5.5% (2006), 6.2% (2007), 6.0% (2008), 4.5% (2009) dan 6.1% (2010). Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan juga mengalami penurunan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, 17.8% (2006), 16.6% (2007), 15.4% (2008), 14.2% (2009) dan 13.3% (2010)

Terkait dengan angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS tersebut, terdapat kritik bahwa batas pengukuran yang ditetapkan BPS tidak menggambarkan kebutuhan hidup minimal rakyat yang sesungguhnya. Perlu diketahui bahwa dalam menghitung angka kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach), yang biasa digunakan oleh negaranegara yang secara ekonomi jauh tertingal dibandingkan Indonesia, seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam. Sierra Leone dan Gambia.

Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan  yang diukur dari sisi pengeluaran. Menurut pendekatan ini, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki ratarata pengeluaran per kapita/bulan dibawah garis kemiskinan (GK). Secara teknis, GK dibangun dari dua komponen, yaitu garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori/hari. Sedangkan GKNM merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Konsekuensinya, penetapan batas garis kemiskinan menjadi sangat rendah.

Sementara itu, bila menggunakan kriteria kemiskinan yang dipakai secara international yang ditetapkan oleh Bank Dunia (World Bank), maka angka kemiskinan di Indonesia masih tergolong tinggi. Berdasarkan World Bank Development Report 2011, dari data hasil survey yang dilakukan pada tahun 2007, jumlah orang yang hidup dengan < $ 1.25 per hari mencapai 29.4% (sekitar 66.34 juta jiwa). Sementara itu, jumlah penduduk yang hidup dengan < $ 2 per hari mencapai 60% ( sekitar 135.39 juta jiwa).

Bila dibandingkan denga hasil survey yang dilakukan pada tahun 2005, angka kemiskinan Indonesia tahun 2007 tersebut mengalami kenaikan. Berdasarkan hasil survey tahun 2005, dapat ditemukan bahwa jumlah penduduk yang penduduk yang hidup dengan < $ 1.25 per hari mencapai 21.4% lebih rendah dibanding hasil survey 2007, sedangkan jumlah penduduk yang hidup dengan < $ 2 per hari mencapai 53.8% lebih rendah dibanding hasil survey tahun 2007.

Selai itu, laju penurunan tingkat kemiskinan juga dinilai masih berjalan lambat. Terutama bila dikaitkan dengan besarnya anggaran kemiskinan yang disediakan oleh pemerintah. Bila pada tahun 2004, anggaran kemiskinan baru mencapai Rp 18 trilitun, maka jumlah anggaran tersebut meningkat drastis pada tahun 2010, menjadi Rp 94 triliyun.

Pemerintah telah memberikan perhatian yang serius dalam upaya pegentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini tercermin dari  semakin meningkatnya anggaran kemiskinan yang dialokasikan Pemerintah dalam APBN. Namun demikian, sesungguhnya bila mengacu pada angka kemiskinan Bank Dunia, anggaran kemiskinan tersebut masih dirasa masih belum mencukupi.
Setidaknya, kebijakan pengentasan kemiskinan yang diterapkan oleh pemerintah dapat dikategorikan ke dalam dua sasaran utama :

  1. kebijakan dimana sasaran utamanya adalah masyarakat yang termasuk kategori the poorest atau masyarakat yang benarbenar fakir miskin, baik usia lanjut maupun muda, kelompok masyarakat ini membutuhkan intervensi langsung pelayanan kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pangan dan lainlain. kebijakan yang dilakukan pemerintah biasanya adalah memberikan bantuan langsung baik itu dalam bentuk BLT, BOS, Jamkesmas, Askeskin, dan Raskin.
  2. kebijakan dimana sasaran utamanya adalah masyarakat yang termasuk kelompok economically active poor, atau masyarakat yang aktif secara ekonomi melalui kegiatan sektor mikro. Pada umumnya, kelompok masyarakat ini membutuhkan fasilitas untuk meningkatkan kapasitas dan meningkatkan kapasitas dan mengembangkan usahanya, seperti pemodalan, technical assistanst, dan lainnya. Program yang diberikan untuk kelompok masyarakat ini adalah PNPM Mandiri, Kredit program dan Kredit Usaha Rakyat.

Pendekatan Baru Dalam Pengentasan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan
Dr. Sugiharto, SE, MBA

Indonesia Tanpa Kemiskinan?


Daerah pedesaan adalah daerah yang dianggap sebagai pusat kemiskinan karena lapangan pekerjaan yang kurang bervariasi, kurangnya akses dan  pembangunan infrastruktur dasar serta kebijakan pemerintah yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan perekonomian, bukan pemerataan.

Kegiatan perekonomian masyarakat di pedesaan, mayoritas bercocok tanam dan menjadi petani, namun sayangnya, petani di Indonesia sangat banyak, namun banyak yang tidak memiliki lahan sendiri, waktu kerja mereka yang fleksibel (lebih sedikit dari rata-rata kerja orang kebanyakan), production cost yang tinggi dan tidak sesuai dengan revenue, sehingga menyebabkan kemiskinan di pedesaan. untuk menyiasatinya, banyak petani yang kemudian mencari pekerjaan sampingan, entah itu menjadi buruh bangunan ataupun menjadi asisten rumah tangga dan ketika musim panen maupun musim tanam, mereka kembali lagi ke desa untuk membantu menggarap lahan pertanian.

Menurut studi empiris dan teori, pendidikan merupakan salah satu cara untuk mengentaskan petani dari kemiskinan. Ketika pemerintah menerapkan pendidikan untuk memperbaiki kehidupan petani, melalui peningkatan kualitas pendidikan kepada kaum muda di pedesaan, namun yang terjadi adalah tingginya urbanisasi. Mengapa? karena tingginya ekspektasi mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. di satu sisi, kota menawarkan lapangan pekerjaan dan kesempatan kerja yang lebih baik dibandingkan pedesaan, sehingga desa tetap ditinggalkan oleh generasi muda sebagai tenaga pembangunnya. Jika kota tidak siap untuk menerima 'luberan' penduduk dari desa, yang terjadi adalah kemiskinan di perkotaan *seperti yang sudah saya cerita kemarinkemarin, dan fakta yang terjadi sekarang adalah hampir separo dari penduduk indonesia tinggal di perkotaan*

Kebijakan pemerintah mulai dirubah, sekarang pendidikan dan pelatihan diberikan kepada petaninya secara langsung untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya. para petani diarahkan untuk dapat mengembangkan UKM (Usaha Kecil dan Mikro, *yes, its about micro finance,cara jualan orang marketing, cin.. soalnya kalo dibilang UKM pasti orangorang mikirnya tentang miskin, banyak orang yang alergi dengan miskin, jadi namanya diganti*). UKM ini diharapkan dapat menambah nilai pada hasil alam pedesaan dan memberikan pekerjaan tambahan bagi petani dan diharapkan petani tidak melakukan migrasi ke perkotaan.

Setelah pelatihan dan pendidikan dirasa sudah cukup, maka waktunya untuk pemberian modal untuk menjalankan kewirausahaan, namun semuanya itu masih di treatment agar target sesuai dengan apa yang diharapkan. Untuk pemberian bantuan modal ini, mayoritas diberikan kepada perempuan, kenapa perempuan? karena (katanya) perempuan lebih bisa dipercaya untuk pegang uang daripada lakilaki, coba kita lihat aja program BLT atau PKH (Program Keluarga Harapan), jika perempuan yang dikasih uang dalam program tersebut, uang itu digunakan untuk membeli susu sebagai  peningkatan gizi keluarga atau biaya pendidikan anak dan kalau lakilaki yang dikasih uang, yang terjadi adalah mereka langsung membelanjakannya untuk membeli rokok, huft.. jadi secara tidak langsung disini saya ingin menyampaikan pesan bahwa peranan perempuan dalam pemberantasan kemiskinan sangat besar, sama seperti yang terjadi pada pemberdayaan perempuan di urban agriculture.

Baiklah, kita kembali pada fokus bahasan kita. Pemberian bantuan finance kepada masyarakat itu nggak mudah loh.. apalagi disini pemerintah ingin menerapkan  kedisplinan dalam pengelolaan keuangan dalam usaha, banyak masyarakat yang mencampuradukkan antara keuangan pribadi dengan 'perusahaannya' maka dari itu, kenapa banyak bantuan keuangan untuk masyarakat yang gagal, selain itu, pemerintah juga jangan memperlihatkan bahwa bantuan itu asalnya dari pemerintah. Krisis kepercayaan masih berlanjut sampai sekarang. Dan jika pemerintah memberitahukan asal usul dana tersebut, banyak masyarakat yang tidak mau mengembalikannya, karena mereka menganggap bahwa itu adalah hasil pajak yang harusnya kembali kepada mereka, padahal fokus disini adalah pemerintah ingin memberikan organizing dalam pengelolaan keuangan dan perusahaan.

Terus ada pertanyaan, bukankah sama aja kalo petani meminjam sendiri uang di bank, kayak kredit bank gituh?
oke, itu bisa dilakukan, namun masyarakat petani tidak memiliki akses untuk itu. Akses disini dimaksudkan bukan masyarakat petani yang dapat mencapai sistem perbankan, namun  bagaimana uang atau kredit tersebut bisa sampai di tangan petani. Kesulitan yang lain adalah masalah tentang jaminan aset, hadeuh, plis deh..mana ada orang miskin punya aset..! dan saking ketidakpercayaannya pihak perbankan terhadap petani yang dianggap sebagai orang miskin yang ga punya uang buat membayar kredit *padahal kan petani jujur, yang ga jujur adalah pejabatpejabat dan pengusaha besar yang pada korup* sehingga banyak bunga kredit untuk petani yang dihitungnya gini : SBI+4% untuk menghindari NPL alias kredit macet yang tinggi. *kalo gitu caranya, bijimana itu cerita petani bisa dapat dan bayar kredit?!*

Memang susah sih, kalo kita mau memberantas kemiskinan tapi kalo tidak ada sinergi antara kelembagaan satu dengan lainnya, termasuk stakeholders di seluruh sektornya.

Membicarakan masalah kemiskinan di pedesaan, sangat terkait dengan sektor pertanian, masalah konversi lahan dan infrastruktur penunjangnya serta investasi. Untuk penanggulangan konversi lahan, seharusnya pemerintah menerapkan UU tentang lahan pertanian abadi, pemetaan kembali daerahdaerah mana yang memiliki kandungan kesuburan tanah tinggi dan menjadi lumbung petanian *bukan hanya untuk pertanian padi atau beras, namun juga tanaman pokok lainnya* pengembangan koridor perekonomian Indonesia agar antara pusat pengembangan satu dengan yang lain dapat terintegrasi dengan baik dan memberikan efect positif untuk sistem distribusi logistik dan pemerataan serta pertumbuhan perekonomian. Disatu sisi, kita harusnya melakukan lagi yang namanya reformasi, lagi? ya, lagi dan reformasi ini untuk sektor pertanian sehingga kita dapat membangun kembali kekuatan Indonesia untuk swasembada pangan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kesenjangan sosial sehingga kita dapat kembali lagi pada roh pembangunan negara kita, yaitu Pancasila, terutama sila ke 5 dan UUD 45 terutama pada pasal 27 dan 33. 

*FYI : gini coefisien kita meningkat dari tahun ke tahun, sekarang sudah hampir mendekati angka 0.85 dan ini sangat mengkhawatirkan, eh, saya dapat sumber dari doktor dan profesor di FE UI,  jadi mudahmudahan cukup valid.. kalo nggak percaya, silahkan hitung kembali ya.. btw ini baru diukur dari sisi pengeluaran, bayangkan kalo diukurnya dari sisi pendapatan, inequality kita pasti semakin besar.

Dan ini baru dari sisi kemiskinan di pedesaan, namun konfliknya sudah sangat banyak, bagaimana kalo kemiskinan di perkotaan yang lebih complicated dari pedesaan dan memerlukan biaya yang lebih besar untuk pengentasan kemiskinannya?