5 Oktober 2011

Gerobak gerobak itu

K etika saya pulang malam dan melihat banyaknya keluarga yang tinggal di gerobak membuat saya berfikir berfikir apakah sedemikian kejam kehidupan di perkotaan sampai hunian yang sedikit layak pun tidak dapat mereka akses?
Maksud saya, saya tidak berharap mereka yang bekerja di sektor informal itu (mayoritas sebagai pemulung) mendapatkan rumah yang bertipe 36 dengan lingkungan yang nyaman ada taman yang luas dan prasarana, sarana dan utilitas yang sangat lengkap serta terletak di tengah kota, namun setidaknya, hunian mereka memiliki atap sehingga mereka bisa berteduh dari hujan dan panas, dengan luas gerobak yang sedemikian kecil, mereka membawa anakanak mereka dan berbagai barang keperluannya ditambah dengan hasil memulung mereka.
Jelas, satu gerobak itu tidak cukup untuk menampung satu keluarga dan ditambah mereka memiliki kecenderungan untuk memiliki anak diatas 2 orang, jadi bisa dibayangkan bagaimana sulitnya sirkulasi dalam keluarga gerobak itu. 



tapi FAKTA yang MENGEJUTKAN adalah
Mereka senang dan merasa nyaman dengan kehidupan mereka seperti itu. Bukan karena komunitas mereka, namun mereka bisa saving, dari tingginya cost of living di kota besar. Mereka tidak perlu membayar sewa rumah dan utilitas yang layak dengan harga yang sangat tinggi, untuk mandi mereka bisa memanfaatkan kebocoran pipa. Jadi, kalau kita menghitung kebutuhan air bersih untuk masyarakat, kita harus memasukkan variabel kebutuhan air jika terjadi kebocoran pipa dan apakah itu sebenarnya dimanfaatkan oleh golongan ini?
Dan kita tau, memang biaya untuk mendapatkan rumah yang layak memang sangat tinggi, baik yang ada di tengah kota maupun pheripheri area, ditambah lagi kehidupan mereka yang nomaden, eh, boleh kan menggunakan kata ini, secara mereka suka berpindahpindah lokasi? Mereka tidak membutuhkan hunian yang tetap.
Dengan kehidupan mereka yang seperti itu, mereka dapat menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi, wow..! that is a big wow for me, pardon me if i underestimate them. Yah, walaupun anaknya harus mencari uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari, namun untuk uang kuliah per semester masih ditanggung oleh orangtua mereka yang notabene adalah pemulung dan tinggal digerobak!
Kehidupan seperti itu juga memberikan security buat mereka di masa tua karena dengan hidup seperti itu, mereka bisa mengirim uang lebih banyak kepada keluarga yang di kampung, membangun rumah dan tabungan untuk mereka di masa tua ketika mereka kembali ke kampung nantinya.
dan itu bagus ... mereka sudah memiliki perencanaan yang matang dengan memilih cara hidup seperti itu.
Disisi lain, saya berfikir, semahal itu  living cost di kota besar, terutama untuk hunian, dengan mengurangi biaya hunian saja mereka sudah bisa melakukan banyak hal yang banyak orang yang memiliki hunian tetap lakukan, misal menyekolahkan anaknya sampai di perguruan tinggi.
dan saya mulai menghubungkan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
Rusunawa atau yang biasanya disebut dengan rumah susun sewa memang salah satu tujuannya untuk masyarakat yang tidak tetap tinggal dalam suatu daerah karena pekerjaannya, dan dengan menyewa rumah, mereka masih bisa saving, kemudian dengan uang hasil saving itu diharapkan mereka dapat pindah ke lingkungan yang lebih baik, dengan prasarana sarana dan utilitas yang lebih baik pula.
Namun permasalahannya, rusunawa tersebut, di Indonesia, kebanyakan merupakan public housing, dimana pengeluaran masyarakat yang tinggal disana, lebih dari 30% nya digunakan untuk membayar sewa rumah plus prasarana, sarana dan utilitasnya. Belum lagi pengeluaran untuk konsumsi, pendidikan, transportasi, dan lainnya, jadi bagaimana mereka bisa saving?
Di negaranegara luar sana, terutama negara maju, banyak yang menyediakan social housing untuk ditinggali masyarakat kelompok ini. di Indonesia, hal itu tidak bisa dilakukan. Kenapa?
Karena kita jelasjelas BUKAN PEMBAYAR PAJAK YANG BAIK.

Kita tidak bisa menerapkan subsidi penuh (sesuai dengan aturan social housing ataupun public housing). Yang kita tau, pajak adalah pemasukan utama negara yang utama, perekonomian yang baik adalah jika masyarakat maupun stakeholder yang lain membayar pajak dengan baik dan taat.
Dengan kondisi seperti itu, kita tidak bisa berharap sepenuhnya kepada pemerintah untuk memberikan subsidi kepada golongan seperti diatas, masyarakat juga berperan serta, tapi entah karena kurang kemampuan finance mereka ataupun kurang sadarnya mereka aka itu, jadi banyak yang cuek, tidak peduli, banyak juga yang berpikir itu tidak adil. Kalau saya sih, secara pribadi, maaf bukannya sok suci atau agamis, tapi saya mencoba berpikir secara rasional, benar jika kita menyisihkan 2,5% penghasilan kita untuk golongan tersebut, bukankah memang itu bagian dari hak mereka, kegiatan ekonomi itu berputar, dan yang bermain bukan hanya orangorang kaya saja, bahkan kaum pemulung pun memiliki andil untuk itu. Coba saja kalau kita mau mentaati itu, inequality akan semakin mengecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar