4 Juli 2011

Working Girl

Saya mau sesekali share tentang film disini, judul film nya adalah “Working Girl”
Bukan film barat, tapi ini film asli Indonesia.
Film ini seperti film dokumenter yang menceritakan kehidupan masyarakat golongan ekonomi berpenghasilan rendah untuk mendapatkan uang dan segala resiko yang dihadapinya. Film ini terdapat 3 cerita yang digabungkan menjadi satu.

Pertama tentang penyanyi dangdut jebolan kontest ajang pencarian bakat di tv.
Namanya Riana, dia adalah gadis kecil yang memenangkan kontes ajang pencarian bakat alias penyanyi dangdut di tv. Ternyata perjuangan tersebut mulai ketika dia baru memenangkan kontes tersebut.
Karena orangtuanya sudah tua, dia menjadi tulang punggung keluarganya. Menyanyi dari panggung satu ke panggung lainnya setelah pulang sekolah. Uang dan hadiah yang didapatkan dari menang kontes tersebut digunakan untuk memperbaiki rumahnya. Dengan embelembel pemenang penyanyi kontes se Indonesia, nama Riana mulai terkenal, bukan menjadi penyanyi dangdut di tv, alihalih menjadi serang diva dangdut, dia banyak mendapat tawaran untuk pentas dari panggung satu ke panggung lainnya untuk acara resepsi pernikahan, ulangtahun dan lainnya. Mungkin karna masih kecil ya, jadi pola demikian lebih sesuai untuk Riana sementara pagi sampai siang hari dia harus sekolah.
Kemudian datanglah pemain karakter baru yang bernama abah Tito, sepertinya neh, menurut saya, dia naksir ama Riana, soalnya tanpa ada hubungan sodara, dia mau membiayai sekolah Riana dan membiayai semua kebutuhannya. Jaman sekarang ya, ga ada yang namanya free lunch, honey..!!
Oke, yang saya lihat cerita disini adalah, selain kehidupan pemenang konteskontes ajang pencarian bakat itu kalo nggak dikelola dengan baik, kasian dengan para kontestannya. Mereka harus berjuang sendirian. Hanya muncul beberapa saat kemudian tenggelam lagi.
Disatu sisi, saya melihat perjuangan seorang anak untuk menghidupi keluarganya, mejadi tulang punggung perekonomian. Dan melihat pendidikannya, saya koq aga kwatir dengan masa depan dia kalo andaikata dia sudah tidak laku lagi menjadi penyanyi.

Pindah ke cerita satu lagi. Kali ini bercerita tentang kehidupan pemain kethoprak.
Indonesia memiliki banyak sekali ragam budaya, salah satunya adalah ketoprak. Ini semacam pertunjukan drama yang menceritakan suatu kisah, ada kisah percintaan, humor, laga, intrik dalam satu kemasan. Mereka biasanya menggunakan bahasa daerah (Jawa) untuk melakukan pertunjukkan tersebut.
Kesenian asli daerah kita sekarang ini sangat mengkhawatirkan kondisinya. Kalah dengan terjangan badai globalisasi, film luar negri dan sinetron.
dengan hanya membayar 5 ribu untuk tiket sekali masuk per pengunjung dan production cost yang begitu besar, ditambah ancaman globalisasi tersebut, saya sangat terkejut masih ada group ketoprak yang masih bertahan. Pemain yang ada di group ketoprak ratarata sudah berusia lanjut, hanya anakanak mereka yang melanjutkan pekerjaan ini, tidak ada tambahan dari pemain luar karna sedikitnya pandapatan yang diterima. Mereka, para pemain ketoprak tetap menekuni ini karna kecintaannya pada kesenian, tujuan mulia untuk melestarikan budaya agar tidak punah.
Ketika melihat kehidupan seharihari merka yang tinggal menjadi satu dengan lokasi panggung ketoprak. Kondisi yang seadanya, tanpa ada sarana prasarana dan utilitas yang memadai, *mandi aja pake ember di ruang komunal, jalanan becek, penerangan seadanya, kamar terbuat dari kardus dan papan bambu*. Walopun kehidupan mereka aga memprihatikan,nomaden, tapi tetep ya, itu yang namanya rokok masih menjadi konsumsi utama, bahkan ada ibu muda yang merokok disebelah balitanya. Argh, mengerikaan..!!
Sebenarnya ada cara untuk menambah penghasilan mereka. Karna ketoprak hanya memulai pertunjukkannya pada malam hari, siang hari mereka dapat melakukan pekerjaan sambila. Banyak ibuibu yang memuliki ketrampilan menjahit atau membuat pernakpernik, aksesoris, mengapa mereka tidak mengembangkan hal tersebut untuk menambah penghasilan?
Memang yang namanya memberantas kemiskinan, tidak bisa menyamakan program, harus ada pengembangan program berbasis komunitas, kemiskinan yang dihadapi tiap kelompok masyarakat itu berbedabeda karakteristiknya, begitu pula dengan penanganannya.
Untuk masalah budaya, mempertahankan kesenian, mungkij kita harus belajar dari Bali yang mencoba mempertahankan budaya nya dengan semboyan dan program 'Ajeg Bali'. Sehingga negara kita yang kaya akan budaya tidak akan kehilangan jati dirinya.

Dan terakhir, cerita yang ketiga, yaitu tentang seorang transgender yang berasal dari Aceh yang bernama Ulfie.
Transgender ini mengidap penyakit yang namanya HIV karna dia tidak mengetahui bahaya nya melakukan 'hubungan' secara bebas tanpa menggunakan 'pelindung' sama sekali. Dia juga tidak mendapat informasi tentang bagaimana penularan dan penyebaran virus HIV tersebut.
Dia mengakui kepada semua orang kalo dia mengidap penyakit tersebut, kecuali kepada ibunya.
Setelah insyaf menjadi transgender dijalanan, dia mencoba untuk menjadi figuran di sinetron, upah yang dia dapat disimpannya kemudian dia mendirikan salon.
Usahanya tidak sampai disitu, dia mencoba untuk mengajak 'saudarasaudaranya' yang lain untuk ikut menyadari pentingnya pemeriksaan kesehatan untuk mengetahui ada atau tidaknya virus tersebut didalam tubuhnya sehingga penularan virus tersebut dapat diminimalisir. Mengetahui temannya tumbang satu per satu, dia sangat kwatir dan mulai mencari informasi tentang ada atau tidaknya informasi dan sosialisasi kepada mereka, pelayanan kesehatan dan lainnya. Namun, ketika berhadapan dengan instansi, biasa, adanya birokrasi yang berbelit, pingpong sanasini, sampai nama fiktif pun diajukan agar sepertinya instansi tersebut tidak diganggu.
Sampai akhirnya dia bertemu salah satu konsultannya, Baby Jim Aditya. Disini bu Baby mengeluhkan betapa kadang tidak adil ketika (maaf) para PSK yang dipaksa untuk menggunakan alat pengaman tersebut dan konsumennya tidak? seharusnya keduanya menggunakan. keterbatasan informasi, latar belakang kemiskinan yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan dan pemerintah pun memicingkan mata untuk memperhatikan mereka melalui kebijakankebijakannya.

Inilah potret seharihari masyarakat  di Indonesia, mulai anak yang menjadi tulang punggung keluarga untuk kegiatan ekonomi., budaya asli yang mulai ditinggalkan dan menghilang karna arus globalisasi, sampai penyebaran virus HIV karna kurangnya sosialisi dan kebijakan yang tidak menyentuh masyarakat minoritas.
Nice film walaupun bentuknya dokumenter yang aga membosankan bagi saya, namun memberikan gambaran yang realistis kehidupan sehari-hari masyarakat di Indonesia, terutama golongan masyarakat golongan miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar