8 Juni 2011

Dari 'Atas' ke 'Bawah'

Masih tentang kesenjangan yang menjadi fokus pembicaraan temanteman dalam suatu organisasi yang saya ikuti. Kali ini bukan kesenjangan pendapatan penduduk dalam suatu kawasan atau daerah, namuan kesenjangan antar daerah. Indonesia bagian barat yang memiliki infrastruktur yang lebih baik dan Indonesia bagian timur yang masih banyak memiliki kekayaan alam.
Ditambah lagi dengan rendahnya daya saing kita (garagara infrastruktur kita yang parah), terbatasnya anggaran (pemerintah hanya bisa menyediakan 30% dari total kebutuhan pembangunan infrastruktur yang hingga 2014 mencapai Rp 1.429 triliyun) dan, maslah yang paling menyebalkan menurut saya, yaitu labirin aturan.

Negara kita membutuhkan perencanaan infrastruktur yang integrated agar wilayah berkembang dengan baik, tidak per bagian saja, namun diharapkan dapat menyeluruh.
Indonesia banyak menerapka model dari negaranegara tetangga, namun sayangnya Indonesia belum punya model sendiri untuk diterapkan sesuai dengan karakteristik Indonesia yang merupakan negara kepulauan (yang harusnya menjadi negara perikanan), negara yang memiliki iklim tropis, negara dengan jalur gunung api dan rawan bencana geologi, dsb dst.
Dulu, yang sangat terkenal adalah metode 'Growth Pole Theory (1980an)" yaitu percaya pada trickling down effect agar wilayah berkembang, namun kenyataannya?

Sekarang saya mendengar ada sesuatu yang menarik untuk dibicarakan yaitu MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia), saya langsung berfikir : ini sebuah solusi baru atau sekedar promosi?
MP3EI ini berasal dari : identify economic centers kemudian dibawa ke determine traffic density (dimana disini menggunakan matriks OD untuk melihat tingginya pergerakan barang dari daerah penghasil ke pusat ekonomi), identifikasi kembali dengan melihat RTRWN (incorporate RTRWN) dan mengidentifikasi sektor kunci bagianbagian pendukungnya, sehingga menjadi final corridor definition.
dan ini menjadi koridor yang integrated untuk pengembangan percepatan kawasan di Indonesia.
Produk MP3EI ini, terdapat 6 koridor dengan spesialisasinya masingmasing, yaitu KE (kawasan Ekonomi) Sumatra,  KE Jawa, KE Kalimantan, KE Sulawesi dan Maluku Utara, KE Bali dan Nusa Tenggara dan KE Papua serta Maluku.

Pengembangan MP3EI harus 'dihubungkan' dengan feeder sistem yang memadai (ini kalo dianalogikan seperti busway) dan disini perlu adanya keterlibatan pemerintah daerah. Sistem koridor MP3EI juga perlu dilengkapi dengan sebaran kegiatan ekonomi yang 'stand by' atau 'ready' untuk berkembang begitu ada infrastruktur (bukan idle status). Namun permasalahan yang kemudian diperkirakan muncul adalah belum adanya antisipasi terhadap eksternalitas yang akan terjadi, terutama dalam kawasan keseimbangan ekonomi timur-barat dan keadilan sosial, selain itu banyak juga yang memperkirakan proyek ini akan mandeg karena tidak adanya integrasi antar unadangundang *ini dilihat dari perspektif investor*. Misalnya di DPR, UU Pertanahan sampe sekarag belum selese, untuk pembangunan infrastruktur perlu mengacu pada UU Tata Ruang (RTRW maupun RDTR), kalo undangundang itu nggak selese, bagaimana investor dan stakeholders yang lain mau dan bisa untuk menjalankan mega proyek ini, ditambah dengan inkonsistensi program, apakah jika nantinya presiden kita ganti lalu proyek ini kemudian dilupakan begitu saja? 

Kemarin, doktor dan profesor berbicara dalam sebuah seminar : kita harus belajar pada Amerika sewaktu mereka membangun wilayahnya yang tertinggal, mereka tidak memperhitungkan apa itu cost benefit ratio, cost efective dan berbagai macam analisis ekonomi lainnya yang melihat apakah pembangunan proyek atau kegiatan tersebut menguntungkan atau tidak, mereka hanya berikir tentang kesetaraan, mengurangi kesenjangan, dimana nantinya diharapkan kawasan yang tertinggal tersebut akan mengikuti (development follow by ribbon).

Yang dipertanyakan disini adalah : apakah pemerintah kita berani untuk itu? Kalo pemerintah menyerahkannya pada private sektor, sepertinya harus ada incentive yang besar, dan *pengalaman* kita tau, bagaimana permintaan pembagian 'separuh besar dan separuh kichil' di daerah timur sana.
Pemerintah pusat harus tegas dalam memonitoring dan mengevaluasi program pembangunan dan kegiatan yang ada di masingmasing daerah, walopun sekarang ini kita sudah melakukan otonomi dan desentralisasi, namun pemerintah masih memiliki kewenangan untuk monitoring bukan? dan ini yang menjadi kelemahan di Indonesia, kurang bahkan hampir tak ada proses monitoring dan evaluasi, sehingga banyak terjadi penyimpangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar