26 Februari 2011

Uncertainty




Dahulu perekonomian kita bertumpu pada kegiatan primer seiring dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan perekonomian,  kegiatan ekonomi Indonesia berubah menjadi kegiatan perindustrian yang mampu menyerap banyak tenaga kerja, namun sayangnya, barang input produksi kita mayoritas import, sehingga ketika adanya krisis moneter  tahun 1997/1998, perekonomian kita colaps, tak terkecuali dengan industri.

Seiring waktu yang berjalan, industri kita sulit bangkit dari keterpurukan dengan adanya krisis (lagi) di tahun 2008, sektor industri kita semakin menurun, sehingga terjadi de-industrialisasi, kegiatan pertanian sudah tidak dapat lagi menampung tenaga kerja, disamping itu, banyak lahan pertanian yang terkonversi ke lahan terbangun, sehingga kegiatan pertanian tidak dapat menampung ‘limpahan’ tenaga kerja dari sektor industri.
Kegiatan industri yang mayoritas berada di perkotaan maupun pheripheri area, yang memiliki aksesibilitas kebutuhan dasar yang lebih mudah daripada di daerah rural, menyebabkan pekerja dari kegiatan industri malas untuk kembali ke rural, selain itu, adanya disparitas kegiatan pembangunan antara urban dan rural, menyebabkan daerah rural tidak berkembang, sehingga gap yang terjadi  antara rural dan urban sangat jauh, baik dari segi kegiatan perekonomian maupun akses kebutuhan dasar.

Masyarakat yang telah ‘dirumahkan’ oleh sektor industri, memilih bertahan di kota, menyebabkan angka pengangguran perkotaan yang tinggi.  Di satu sisi, banyaknya imigran yang baru masuk ke wilayah urban, menyebabkan persaingan untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit ditambah dengan tingginya tingkat pendidikan dari para pencari kerja yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah untuk menambah masa pendidikan, menyebabkan tingginya angka pengangguran terdidik dan mengurangi masa produktivitas [namun disatu sisi pemerintah ingin meningkatkan HDI]. Dengan banyaknya pengangguran yang tidak terserap [ini kondisi dimana pemerintah gagal untuk menyediakan lapangan pekerjaan, termasuk dalam kebijakan yang terkait dengan lapangan pekerjaan *contoh : tingginya kredit bagi pengusaha kecil dan menengah*], sehingga para pekerja itu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.

Yah, akhirnya kegiatan perekonomian kita bergeser dari sektor industri ke sektor jasa, namun sektor jasa disini bukan jasa yang memiliki ketrampilan khusus atau keahlian yang terspesialisasi sehingga mencipatakan value added yang tinggi dan dapat menunjang perekonomian, tapi sektor jasa yang dimana untuk masuk ke dalamnya tidak memerlukan ketrampilan atau keahlian khusus dan untuk perekonomian secara makro, tidak memberikan kontribusi sama sekali atau biasa disebut dengan sektor informal perkotaan yang pelakunya disebut denganpedagang kaki lima.

Sektor informal ini tidak memiliki akses untuk mendapatkan jaminan sosial, dimana didalamnya masyarakat yang ada di sektor ini sulit untuk mengakses kebutuhan dasar hidupnya : mulai dari pangan, hunian yang layak [plus utilitas penunjangnya], layanan kesehatan bahkan pendidikan, selain disebabkan oleh kemiskinan, golongan masyarakat untuk golongan ini masih sangat minim, walaupun   sudah ada beberapa kebijakan yang membantu, namun dirasa belum dapat mengurangi kemiskinan yang ada. Contohnya pembangunan rumah susun bersubsidi yang harusnya diberikan untuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah, dan tujuannya untuk memberikan hunian yang layak bagi masyarakat, namun apakah sudah sesuai dengan sasaran? Banyak rumah susun bersubsidi yang dimiliki oleh masyarakat yang mampu, kemudian disewakan kembali dan harganya menjadi lebih mahal, lalu dimana masyarakat berpenghasilan rendah tinggal? Coba  kita perhatikan permasalahan permukiman perkotaan di Indonesia :
  • Ada berapa banyak hunian yang dibangun di daerah marjinal tanpa adanya akses utilitas perumahan?
  •  Berapa banyak rumah yang ada di pinggir rel kereta api, pinggir sungai, bawah jembatan?
  • Bagaimana dengan kondisi hunian yang ada di tengah perkotaan?
  • Berapa KDB dan KLB dalam satu persil? Apakah ada sirkulasi udara yang baik?
  • Bagaimana dengan RTH? Yang merupakan tempat untuk bersosialisasi dan bermain anak, selain fungsinya sebagai penyerap polusi?
Bagaimana masyarakat golongan menengah kebawah itu memikirkan pertanyaan diatas sedangkan kepastian hidup mereka masih sangat kurang jelas, kalaupun hari ini masih bisa makan, bagaimana dengan besok? Ditambah lagi dengan kegiatan mereka yang berada di sektor informal, karena mereka tidak mampu untuk menyewa lokasi yang sesuai untuk kegiatan ekonomi yang mereka lakukan, akhirnya mereka mengambil tempat publik yang ‘tidak seharusnya digunakan’ contohnya trotoar maupun jembatan penyebrangan, karena itulah, mereka sering dikejar oleh petugas keamanan kota dan sering menjadi korban penggusuran, padahal itu satusatunya penghidupan mereka, kebijakan penggusuran ini terkadang tanpa disertai oleh relokasi lokasi usaha yang sesuai.

Di satu sisi, penduduk di Indonesia mayoritas merupakan masyarakat golongan ekonomi menengah kebawah. Mereka tidak selalu dapat mengakses kebutuhan mereka di tempat formal yang dibebani pajak, dengan adanya kegiatan sektor informal, menyebabkan biaya hidup diperkotaan dapat ditekan.
Dari sistem jaminan sosial sendiri masih banyak hambatan untuk merealisasikannya, yang mulai berkembang di Indonesia adalah sistem jaminan kesehatan (sebagian besar dikelola oleh swasta dan sisanya oleh pemerintah), dimana jaminan kesehatan ini hanya dapat diakses oleh golongan tertentu, antara lain (sebagian kecil) pegawai di perusahaan swasta, pegawai negri sipil atau dengan kata lain : tidak seluruh pekerja yang ada di sekor formal itu sendiri dapat mengaksesnya, berbagai masalah juga masih membayangi sistem jaminan kesehatan ini, dan yang paling pelik adalah antar lembaga yang ada di dalamnya (seperti masalah political economic dan lempar tanggungjawab). [1]Sedangkan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah, pemerintah sekarang ini telah memberlakukan Program Keluarga Harapan (PKH) yang diharapkan lebih tepat sasaran di bandingkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) akibat dari pengurangan subsidi   BBM.

Dalam kondisi perekonomian yang sedang tidak menentu ini, banyak pihak merasa ‘unsecure’ untuk menghadapi masa mendatang. Yang saya baca dari majalah keuangan [financial planning] : “selalu siapkan dana cadangan minimal untuk 6 bulan pengeluaran anda dan anda akan aman selama 6 bulan itu sambil mencari pekerjaan lagi atau membuat suatu usaha sendiri jika sewaktuwaktu anda dirumahkan oleh perusahaan”.  Saya rasa nasehat itu layak untuk diikuti, kalau bos anda bilang perusahaan akan aman,  jangan percaya akan ucapan bos anda.

Indonesia merupakan negara miskin yang gampang untuk diruntuhkan perekonomiannya karena struktur pondasi ekonominya yang sangat rapuh, sepertinya baik para pembuat dan pengambil kebijakan [yang ada diatas sana] maupun para calonnya harus berusaha ekstra keras untuk mengatasi masalah ekonomi dan sosial masyarakat sekarang ini. Yang paling dikhawatirkan adalah jika terjadi terus menerus, keamanan negara kita, baik dari dalam ataupun luar akan sangat mudah untuk dihancurkan, mungkin kejadiannya akan lebih parah dari krisis 1997/1998 kali ya? Dan saat ini keamanan kita sudah terganggu. *Bisa lihat beritaberita yang ada kan?*

Sistem jaminan sosial bukan hanya tentang kesehatan, tapi bagaimana masyarakat dapat mengakses kebutuhan dasar hidup mereka. Apakah negara telah memberikan kepada rakyat sesuai dengan apa yang ada di UUD 1945 dan GBHN?




[1] sedikit catatan yang saya dengar dari temen yang bekerja di pemerintahan : tiap bulan gaji dipotong katanya untuk tunjangan hari tua, pas pensiun, negara mengembalikan namun dengan nama reward atas pengabdian, padahal itu kan uang mereka sendiri, lalu pemerintah ngasih apa dong?*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar